Mohon tunggu...
M Ali Fernandez
M Ali Fernandez Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat Konsultan Hukum

S1 Hukum Pidana UIN Jakarta (Skripsi Terkait Tindak Pidana Korupsi) S2 Hukum Pidana Program Pasca UMJ (Tesis Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang) Konsultan Hukum/Lawyer (081383724254) Motto : Yakusa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pembuktian Suap: Penyertaan Mutlak

12 Mei 2022   18:43 Diperbarui: 12 Mei 2022   18:47 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KPK menetapkan Aziz Syamsudin (AS), Wakil Ketua DPR, Politisi Partai Golkar sebagai Tersangka dalam dugaan Kasus Suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor. Aziz ditetapkan Tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian hadiah atau janji terkait penanganan perkara yang ditangani oleh KPK di Kabupaten Lampung Tengah.

Menurut Ketua KPK, Firli. Dalam hal ini, Aziz Syamsudin menghubungi penyidik KPK, Stepanus Robin Patttuju, pada Agustus 2020. Tujuannya, untuk meminta tolong kasus yang menyeret namanya dan kader Partai Golkar lainnya, yaitu Aliza Gunado. "Sebagaimana komitmen awal pemberian uang dari AZ kepada SRP dan MH sebesar Rp. 4 Miliar, yang telah direalisasikan baru sejumlah Rp. 3,1 Miliar," Ucap Firli.

Dalam Perkara ini, Stepanus Robin, sudah ditetapkan Tersangka oleh KPK dan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

(Sumber : https://nasional.kompas.com/read/2021/09/25/00585811/kpk-tetapkan-wakil-ketua-dpr-azis-syamsuddin-tersangka-suap?page=all )

***** 

Kasus diatas cukup menarik, dilihat dari dua sudut pandang. Pertama KPK sebagai lembaga penegak hukum yang terkenal seperti malaikat ternyata memiliki kelemahan. Dengan tetap berpegang pada asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence). Perkara Stepanus Robin Pattuju, membuktikan tesis beberapa orang bahwa hampir disetiap lembaga yang ada di Republik ini ada oknum. KPK bukan malaikat.   

Kedua, dari sisi proses penanganan perkaranya. Tindak pidana suap merupakan klasifikasi tindak pidana "Penyertaan Mutlak". "Penyertaan Mutlak" adalah tindak pidana yang mengharuskan ada dua orang pelaku. Pemberi Suap dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b UU Pemberantasan Tipikor dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun, maksimal 4 tahun penjara. Sementara Penerima Suap dikenakan Pasal 5 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor dengan ancaman hukuman sama, minimal 1 tahun, maksimal 4 tahun Penjara.

Suap adalah tindak pidana yang mengharuskan adanya dua Pelaku yang memiliki peran berbeda yaitu "Pemberi Suap" dan "Penerima Suap". Keduanya harus memiliki kesepamahaman yakni untuk "memberi hadiah atau janji" dan untuk "menerima hadiah atau janji". Sama seperti, delik perzinahan menurut 284 KUHP, yaitu persetubuhan antara Pria dengan Wanita, yang salah satunya diketahui telah menikah, dengan ancaman maksimal 1 tahun penjara. Perzinahan tidak dapat dilakukan oleh hanya seorang pria maupuan oleh hanya seorang wanita.  Dalam perbuatan pidana (actus reus) Pasal 5 UU Tipikor, seringkali dalam perbuatan memberi hadiah atau janji yang terbukti, belum tentu perbuatan menerima hadiah atau janjinya terbukti juga secara terang benderang.

Perbuatan suap ini, tidak kita bisa bayangkan seperti pemberian uang ketika kita berbelanja di Supermarket. Dimana tangan kita yang memegang uang bersentuhan dengan tangan petugas supermarket yang menerima uang tersebut. Kita bisa melihat kedua perbuatan dalam satu waktu. Pemberian uang dan penerimaan uang.  

Jika cukup jeli, dalam beberapa perkara dugaan suap KPK selalu "mendahulukan" proses pemeriksaan penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan terhadap terduga pelaku pemberi suap. Biasanya, "Pemberi Suap" diperiksa terlebih dahulu dan menerangkan detail pemberian suap yang dilakukan. Mulai dari konstruksi waktu pemberian suap dilakukan, dimana tempatnya, siapa saja yang terlibat, tujuannya untuk apa, besar suapnya berapa, siapa saja yang diberi suap, akibat suapnya apa, sampai asal muasal kepemilikan uang suap tersebut.

Biasanya, "Pemberi Suap", yang di ancam dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Pemberantasan Tipikor, menawarkan dirinya --atau diiming-imingi oleh KPK- untuk menjadi "pelaku yang berkerjasama" atau Juctice Collabolator, dengan tujuan agar hukumannya lebih ringan dan mendapatkan pemotongan masa tahanan saat menjalani masa pemidanaan. Sementara, "Penerima Suap", tidak didakwa dengan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor yang ancamannya maksimal 5 tahun penjara, melainkan Pasal 12 UU Tipikor yang ancamannya lebih tinggi yaitu Maksimal 20 tahun Penjara. Terhadap perbedaan penerapan hukuman ini menjadi persoalan tersendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun