Mohon tunggu...
Nandang Darana
Nandang Darana Mohon Tunggu... wiraswasta -

Lahir di Majalengka, Jawa Barat. Mendalami dunia tulis menulis sejak 1992, namun kehilangan gairah pada 2004-an. Awal 2009 gairah itu muncul lagi, meski dengan tertatih-tatih: terlalu banyak yang telah dilewatkan dan mesti belajar lagi dari nol!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ramadhan, Lebaran, dan Konsumerisme

11 Agustus 2011   17:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:53 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lembaga keuangan non-bank selalu dicari dan dibanjiri masyarakat ekonomi kecil adalah hal yang lazim terjadi setiap tahun pada bulan puasa dan menjelang lebaran. Bukan hanya konsumen biasa, tapi juga para pengusaha mikro seperti pedagang bakso dorong, mie ayam, warung kopi, pedagang gado-gado, tukang becak dan tukang ojeg.

Mereka lebih memilih mendatangi lembaga keuangan non-bank ketimbang mendatangi bank-bank resmi, baik itu bank pemerintah, bank BUMN/BUMD maupun bank swasta.

"Pinjaman yang diberikan kosipa (sebutan untuk "bank keliling harian", pen) prosesnya lebih mudah dan cepat, meski bunganya cukup besar," ungkap Wardi, seorang pedagang kelontong keliling di Kecamatan Panyingkiran Kabupaten Majalengka. Bagi Wardi, meminjam uang untuk persiapan lebaran ke debitur perorangan adalah pilihan yang paling mungkin untuk kondisinya.

"Saya tidak punya agunan dan tidak ada waktu untuk mengurus persyaratan pinjam ke bank," ujar Wardi lirih.

Wardi tidak sendirian. Winarti, seorang pedagang emprakan di Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang pun melakukan cara yang ditempuh Wardi. Winarti memanfaatkan sumber keuangan pengusaha bank perorangan untuk menambah modal dagangan selama bulan puasa.

Rupanya memang gayung pun bersambut. Kecenderungan masyarakat untuk menempuh cara-cara instan meski mengandung risiko dalam mengakses sumber-sumber keuangan telah menyuburkan praktik perbankan gelap yang biasa diistilahkan dengan julukan lintah darat. Konon, omset mereka meningkat tiga kali lipat di saat-saat seperti ini.

Kondisi seperti itu sungguh memprihatinkan dan perlu disesalkan. Terlebih kebutuhan konsumtif pada saat ramadhan dan menjelang lebaran ini beriringan dengan kebutuhan biaya tahun ajaran baru di sekolah. Tak pelak. Dalam kondisi didesak kebutuhan semacam ini, masyarakat bagaikan membasuh gerah di kolam yang penuh lintah. Tak peduli berapa banyak darah yang terhisap lintah setelahnya.

Tak bisa dipungkiri, keuangan mikro sangatlah strategis bagi pengembangan ekonomi rakyat. Sektor ini malah bisa menjadi primadona apabila dikelola dengan baik oleh pemerintah, baik melalui program koperasi maupun melalui program lainnya, dengan tidak harus ada mekanisme yang berbelit-belit.

Jika saja berbagai program pemerintah yang selama ini digulirkan seperti PUAP, PKH, PNPM bahkan KUR berjalan tepat sasaran dan terawasi dengan baik, niscaya hal itu dapat mengurangi dan mempersempit ruang gerak peredaran bank-bank gelap. Bahkan, bisa saja dana CSR pun disalurkan ke masyarakat dengan membentuk lembaga keuangan mikro di setiap desa/kelurahan.

Haruskah masyarakat terus-terusan berkesusahan dalam lilitan bunga rente hanya demi memuaskan sifat konsumtif yang diatasnamakan menyambut lebaran?

[Telkomsel Ramadhanku}

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun