Air bersih adalah sumber kehidupan yang tidak tergantikan. Setiap manusia membutuhkannya, baik untuk minum, memeasak, mandi,maupun menjaga kebersihan lingkungan. Akan tetapi, kenyataan yang kita hadapi hari ini sangat memperihatikan. Krisis air bersih semakin nyata dan meluas ke berbagai penjuru dunia. Perubahan iklim, pencemaran, pertumbuahan penduduk,dan lemahnya insfranstuktur membuat persoalan ini semakin sulit diatasi.
Perubahan iklim membawa dampak besar pada ketersediaan air bersih. Pola curah hujan yang tidak menentu membuat musim kemarau berlangsung lebih panjang di berbagai daerah, smentara wilayah lain dilanda hujan deras yang berlebihan sehingga menimbulkan banjir. Kondisi ini mengacaukan siklus air yang selama ini menjadi andalan masyarakat untuk bertani, beternak,maupun sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sawah-sawah yang biasanya hijau kini mengering dan retak, sedangkan darah perkotaan sering kali tergenang air yang justru tidak dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup. Ketidakpastian iklim membuat manusia semakin sulit menebak kapan air akan melimpah dan kapan akan langka. (Hunter,2019:217-226)
Masalah ketersediaan air juga diperparah oleh pencemaran. Sungai yang dulu menjadi sumber utama bagi kehidupan masyarakat kini banyak yang berubah fungsi menjadi saluran pembuangan limbah. Air yang jernih berubah menjadi keruh, bahkan berwarna hitam dan berbau menyengat akibat limbah industri , pertanian, maupun rumah tangga. Pestisida dari lahan pertanian meresap ke tanah dan mencemari tanah. Limbah pabrik yang mengandung logam berat dibuang tanpa pengolahan memadai ke sungai. Bahkan di beberapa kota, limbah domestik langsung mengalir tanpa saringan ke saluran air. Kondisi ini menjadikan air tidak hanya tidak layak diminum, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan manusia. Penyakit diare, kolera hingga keracunan kronis menjadi ancaman nyata bagi masyarakat yang masih mengandalkan air tercemar sebagai sumber kehidupan sehari hari.
Di sisi lain, pertumbuhan penduduk yang pesat dan arus urbanisasi menambah beban pada sumber daya air. Kota-kota besar yang padat penduduk membutuhkan banyak air dalam jumlah bsar setiap harinya. Namun insfranstuktur penyediaan air tidak selalu sejalan dengan pertumbuhan populasi. Pipa-pipa distribusi yang sudah tua sering bocor, instalasi pengelolaan tidak mampu memenuhi kapasitas, sementara daerah pemukiman baru tumbuh lebih cepat dari pada pembangunan sarana air bersih. Akibatnya, banyak masyarakat yang mendapatkan pasukan air dari jaringan resmi dan terpaksa menggunakan sumur dangkal yang kualitas airnya tidak terjamin. (Gadis, 2024)
Krisis air bersih ini menimbulkan dampak yang sangat luas. Dari sisi kesehatan, sanitasi yang buruk membuat masyarakat rentan terhadap penyakit. Anak-anak yang paling banyak menjadi korban,dengan jutaan kasus diare tercatatsetiap tahunnya akibat air minum yang terkontaminasi. Dari sisi pangan, kekurangan air membuat sawah-sawah tidak bisa ditanami secara maksimal, sehingga hasil panen menurun. Kekurangan pangan kemudian memicu kenaikan harga, yang pada akhirnya membebani masyarakat kecil. Dari sisi sosial, rebutan sumber air menjadi pemicu konflik, baik antar individu maupun antarwilayah. Ada banyak contoh ketika masyarakat harus berdebat bahkan bertikai hanya untuk mendapatkan akses ke satu sumber sir bersama.
Menurut laporan lembaga dunia seperti WHO dan UNESCO, kondisi ini semakin mengkhawatirkan. Lebih dari dua miliar orang saat ini belum memiliki akses terhadap air minum yang aman. Bahkan diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga populasi dunia akan menghadapi krisis air jika tidak ada langkah nyata yang segera dilakukan. Peringatan ini jelas menunjukkan bahwa krisis air bukan lagi isu masa depan, melainkan kenyataan yang sedang berlangsung sekarang.
Menghadapi situasi ini, berbagai tantangan besar muncul. Akses air yang tidak merata masih menjadi persoalan utama, terutama antara desa dan kota. Insfranstruktur yang usang dan sering bocor membuat air yang seharusnya bisa digunakan justru hilang dalam perjalanan distribusi. Sementara itu, keterbatasan dana membuat pembangunan sarana air bersih berjalan lambat. Kesadaran masyarakat juga masih rendah. Banyak orang yang belum menghargai pentingnya konservasi air. Penggunaan air secara boros masih sering ditemui, padahal sumbernya semakin menipis.
Namun krisi air bersih bukanlah masalah tanpa solusi. Banyak langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampaknya. Pengelolaan air secara berkelanjutan sangat diperlukan, misalnya dengan menjaga daerah resapan air, menanam kembali hutan yang gundul, serta mengelola daerah aliran sungai dengan baik. Insfranstruktur juga harus diperbaiki, pipa distribusi diganti, dan jaringan diperluas hingga ke pelosok desa. Teknologi juga dapat menjadi solusi, seperti pemanenan air hujan untuk daerah kering, desalinasi air laut untuk daerah pesisir, serta daur ulang air limbah agar bisa dimanfaatkan kembali.
Selain itu, kesadaran masyarakat menjadi kunci penting. Hemat air harus menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak sejak dini perlu diajarkan bahwa air adalah sumber kehidupan yang tidak boleh disia-siakan. Pemerintah, sektor swasta, lembaga internasional, dan masyarakat sipil juga harus bekerja sama dalam enangani masalah ini. Krisis air adalah masalah bersama yang tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja.
Krisis air bersih adalah gambaran nhyata bahwa sumber daya alam yang selama ini kita anggap tak terbatas ternyata memiliki keterbatasan. Jika tidak dikelola dengan bijak, air bisa menjadi sumber bencana, baik karena kelangkaan maupun kerena pencemaran. Kita tidak bisa lagi menunda tindakan. Upaya menjaga dan mengelola air harus dilakukan sekarang juga. Dengan kerja sama, kesadaran, serta teknologi, kita masi memiliki kesempatan untuk memastikan untuk memastikan bahwa air tetap tersedia bagi generasi mendatang. (Syeptri, 2024)