Dukuh Ngasinan, Desa Warugunung, Pancur — Dalam balutan adat dan budaya, Komunitas Putra Wayah Lasem menyelenggarakan Pagelaran Budaya Santibadra, sebuah acara tahunan yang dilakukan untuk merawat budaya, mempererat persaudaraan, dan memperkenalkan kearifan lokal kepada khalayak lebih luas. Salah satu rangkaian utama dalam pagelaran ini adalah Kirab Budaya Pataka Bumi Jawi, prosesi budaya sakral yang rutin digelar setiap akhir tahun sebagai bentuk pelestarian nilai luhur dan wujud syukur kepada alam.
Prosesi Kirab Pataka Bumi Jawi: Harmoni antara Tradisi dan Warga
Kirab budaya tidak hanya sekadar arak-arakan, tetapi menjadi ruang sakral yang menyatukan masyarakat dengan tanah kelahiran mereka. Kegiatan ini diikuti oleh warga Dukuh Ngasinan, Desa Warugunung, Kecamatan Pancur, yang tampil dengan penuh antusias dan semangat kebersamaan. Barisan kirab dipimpin oleh drumband dari SDN Selopuro, dilanjutkan dengan barisan Dewi, prajurit Majapahit, dan masyarakat yang membawa gunungan hasil bumi seperti padi, sayuran, dan makanan ringan.
Apa Itu Pataka Bumi Jawi?
Secara etimologis, pataka berarti panji atau lambang, sedangkan Bumi Jawi merupakan istilah yang bermakna mendalam, merujuk pada tanah Jawa — tempat hidup, tempat berpijak, dan tanah leluhur. Dalam kirab ini, diarak gunungan hasil bumi yang sarat makna spiritual. Gunungan merupakan salah satu sesaji penting dalam prosesi kirab. Gunungan ini biasanya dibentuk seperti kerucut, yang secara simbolik memiliki arti bahwa segala doa dan permohonan umat ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan harapan agar apa yang dimohon dapat dikabulkan (Moertjipto, 1996/1997: 95–96).
Warga percaya bahwa dengan mengarak gunungan keliling desa, mereka sedang menyebarkan doa dan energi baik untuk menciptakan kehidupan yang lebih seimbang dan harmonis. Gunungan hasil bumi ini juga menjadi lambang rasa syukur kepada Tuhan dan alam, sekaligus menyimbolkan kelimpahan serta doa atas kesejahteraan seluruh masyarakat.
Makna Kirab Pataka Bumi Jawi
Kirab ini bukan sekadar tontonan, tetapi sebuah penghormatan terhadap bumi tempat berpijak. Dalam konteks budaya Jawa, kirab seperti ini mengajarkan kepada generasi muda tentang pentingnya menghargai tanah, leluhur, dan harmoni dengan alam.
Menurut Danang Swastika (26/06/2025), selaku Ketua Panitia sekaligus penggagas acara: