Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Bisakah Sebuah Demokrasi Direkayasa?

28 Juli 2020   12:52 Diperbarui: 28 Juli 2020   12:57 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Wartakota.tribunnews.com

Ramai perbincangan tentang dinasti politik karena Gibran Rakabuming Raka selaku putra sulung Presiden RI Joko Widodo diusung oleh partai PDIP sebagai calon Wali Kota Solo.

Presiden Jokowi pun menampik bahwa dirinya melakukan dinasti politik, karena beliau tidak menyerahkan perannya sebagai Presiden RI langsung ke tangan putra sulungnya, akan tetapi putranya masuk ranah politik dan menjadi calon walikota Solo tentunya tetap dengan prosedur pemilihan umum kepala daerah (pilkada).

Membaca pernyataan sang presiden, saya pun mencari arti dari istilah dinasti politik. Menurut Mkri.id, dinasti politik identik dengan kerajaan, dimana kekuasaan akan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak agar kekuasaan akan tetap berada dilingkaran keluarga.

Ah, dari pengertian tersebut, saya pun baru tersadar kalau Presiden Jokowi memanglah tidak melakukan dinasti politik, dan hampir semua pejabat di Indonesia sebenarnya jarang melakukan dinasti politik, akan tetapi melakukan politik kekerabatan. 

Nah, politik kekerabatan ini memiliki gejala neopatrimonaliastik.

Kata Neopatrimaliastik berunsur dari dua kata, yakni kata neo dan patrimonial. Menurut Ilmuwan Politik dari Universitas Gajah Mada, A.G.N Ari Dwipayana, patrimonial merupakan sistem yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis (ikatan/kekerabatan). Neo sendiri berarti baru. Jadi kalau digabung Neopatrimaliastik, maka artinya suatu sistem politik yang memiliki patrimonial lama, tapi dengan strategi baru, yakni jalur legal prosedural berupa pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Dilansir dari Tribunjabar.id, contoh konkret dari praktik neoptarimonial telah dilakukan oleh Ratu Atut, mantan Gubernur Banten. Dalam sistem neopatrimonial, seorang pemimpin bisa jadi melibatkan anak, menantu, istri, ataupun suami dalam sistem pemerintahan membentuk suatu kerajaan kecil yang berlindung dibalik sistem demokrasi. Peran partai hanya sebagai mesin politik belaka.

Gejala neopatrimonialistik dikhawatirkan bisa saja terjadi pada Gibran Rakabuming Raka. Ada dua alasan yang membuat saya berpikir seperti itu, yakni :

Alasan pertama, adanya perubahan restu yang tidak sesuai dengan prosedur oleh partai PDIP

Gibran Rakabuming Raka awalnya tidak direstui oleh DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PDIP Solo sebagai calon Wali Kota Solo, karena pendaftaran calon kepala daerah sudah tutup. Achmad Purnomo menjadi calon kuat Wali Kota Solo yang akan diusung oleh PDIP. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun