Ramai perbincangan tentang dinasti politik karena Gibran Rakabuming Raka selaku putra sulung Presiden RI Joko Widodo diusung oleh partai PDIP sebagai calon Wali Kota Solo.
Presiden Jokowi pun menampik bahwa dirinya melakukan dinasti politik, karena beliau tidak menyerahkan perannya sebagai Presiden RI langsung ke tangan putra sulungnya, akan tetapi putranya masuk ranah politik dan menjadi calon walikota Solo tentunya tetap dengan prosedur pemilihan umum kepala daerah (pilkada).
Membaca pernyataan sang presiden, saya pun mencari arti dari istilah dinasti politik. Menurut Mkri.id, dinasti politik identik dengan kerajaan, dimana kekuasaan akan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak agar kekuasaan akan tetap berada dilingkaran keluarga.
Ah, dari pengertian tersebut, saya pun baru tersadar kalau Presiden Jokowi memanglah tidak melakukan dinasti politik, dan hampir semua pejabat di Indonesia sebenarnya jarang melakukan dinasti politik, akan tetapi melakukan politik kekerabatan.Â
Nah, politik kekerabatan ini memiliki gejala neopatrimonaliastik.
Kata Neopatrimaliastik berunsur dari dua kata, yakni kata neo dan patrimonial. Menurut Ilmuwan Politik dari Universitas Gajah Mada, A.G.N Ari Dwipayana, patrimonial merupakan sistem yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis (ikatan/kekerabatan). Neo sendiri berarti baru. Jadi kalau digabung Neopatrimaliastik, maka artinya suatu sistem politik yang memiliki patrimonial lama, tapi dengan strategi baru, yakni jalur legal prosedural berupa pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Dilansir dari Tribunjabar.id, contoh konkret dari praktik neoptarimonial telah dilakukan oleh Ratu Atut, mantan Gubernur Banten. Dalam sistem neopatrimonial, seorang pemimpin bisa jadi melibatkan anak, menantu, istri, ataupun suami dalam sistem pemerintahan membentuk suatu kerajaan kecil yang berlindung dibalik sistem demokrasi. Peran partai hanya sebagai mesin politik belaka.
Gejala neopatrimonialistik dikhawatirkan bisa saja terjadi pada Gibran Rakabuming Raka. Ada dua alasan yang membuat saya berpikir seperti itu, yakni :
Alasan pertama, adanya perubahan restu yang tidak sesuai dengan prosedur oleh partai PDIP
Gibran Rakabuming Raka awalnya tidak direstui oleh DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PDIP Solo sebagai calon Wali Kota Solo, karena pendaftaran calon kepala daerah sudah tutup. Achmad Purnomo menjadi calon kuat Wali Kota Solo yang akan diusung oleh PDIP.Â