Mohon tunggu...
Naisbitt Iman
Naisbitt Iman Mohon Tunggu... -

Just a wandering wanderer that wander in the wonderfully wonderful world called wonderland.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menjawab Surat Terbuka Anggun

23 April 2015   23:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:44 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sekitar jam 7 malam tadi, saya melihat berita di suatu media elektronik tentang surat terbuka Mbak Anggun yang isinya kira-kira meminta Bapak Presiden Joko Widodo untuk membatalkan hukuman mati bagi Bapak Serge Atloui. Tak heran, komentar netizen amat pedas, mengecam Mbak Anggun karena dianggap membela seorang pengedar narkoba. Banyak netizen yang secara brutal menggunakan ad hominem, mempertanyakan nasionalisme Mbak Anggun karena ia telah menjadi Warga Negara Asing sehingga tidak berhak ikut campur dalam kedaulatan hukum Indonesia, bagaimana Mbak Anggun (maaf) dianggap tidak memiliki kapasitas otak untuk berpendapat dalam masalah hukuman mati.

Membaca surat Mbak Anggun saya merasa sedih, Mbak Anggun mengutarakan secara feeling, secara perasaan hati nurani dirinya, bahwa hukuman mati bukanlah hukuman yang adil. Namun Mbak Anggun lupa satu hal yang mendasar, yaitu penjelasan logis mengapa ia menolak hukuman mati.

Herd Mentality, atau yang diistilahkan oleh guru kewarganegaraan SMA saya sebagai “suasana kebatinan” adalah perasaan kolektif yang dirasakan oleh suatu individu yang berada dalam bagian komunitas tentang pendapat apa yang dianggap benar dalam menghadapi suatu isu. Dan tentu saja suasana kebatinan di Indonesia berbeda dengan dimana sekarang Mbak Anggun tinggal, di Perancis.

Jadi biarkanlah saya meluruskan apa yang sebenarnya dimaksud oleh Mbak Anggun, sebagai ketidak-adilan.

Hukuman mati bukan keadilan yang pantas.

Saya bukan aktivis kemanusiaan, saya bukan aktivis hukum, dan saya bukan orang-orang luar biasa yang mengabdikan hidupnya demi keadilan seperti teman-teman di Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Tapi seperti sebagian besar pembaca, saya manusia yang punya perasaan, logis, dan tahu apa yang saya bicarakan.

Hukuman mati, merupakan penghakiman akhir maha tinggi. Di mana lembaga peradilan secara sempit dan masyarakat secara luas telah menganggap terdakwa dianggap sudah tidak lagi terselamatkan atau tidak lagi pantas diselamatkan. Di mana terdakwa telah melakukan sesuatu perbuatan yang sangat amat salah, sangat amat bertentangan dengan kemanusiaan seutuhnya, sehingga pantaslah bagi terdakwa dicoret atas namanya, demi hukum dan demi kemanusiaan, ayat ketiga dari plakat hak asasi manusia; hak untuk hidup.

Tapi bagaimana bila terdakwa tidak bersalah? Bagaimana bila lembaga peradilan memutuskan secara tidak tepat?

Kematian itu irreversible, tidak terbalikkan, sampai saat ini saya belum menemukan artikel atau jurnal yang menyatakan keberhasilan ilmuwan dalam membangkitkan manusia yang telah mati (pengecualian pada kasus henti jantung, dan dalam rentang waktu yang sempit). Sebagai fakta, pencarian kurang dari 15 detik di mesin pencari di internet akan menghasilkan ribuan jika tidak jutaan artikel yang memberitakan seseorang terdakwa yang telah dipenjara selama belasan, bahkan puluhan tahun, dibuktikan bahwa ia ternyata tidak bersalah.

Apakah kita siap untuk menanggung fakta, bahwa keputusan lembaga peradilan tidak bebas dari kesalahan? Dapatkah kita menanggung perasaan “sakit” hati nurani jika ternyata terdakwa yang dianggap bersalah ternyata tidak melakukan kesalahan?

Bukankah sudah sering kita dengar dalam berita bahwa ada pihak-pihak atau biasa disebut “oknum” dalam lembaga peradilan kita yang mencedrai rasa-rasa keadilan dan kemanusiaan? Suap kepada hakim dan jaksa, kawan-kawan? Kekerasan ketika polisi melakukan interogasi supaya tersangka menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa dirinya bersalah? Tentu ini merupakan suatu masalah tersendiri yang harus dibenahi oleh lembaga hukum dan peradilan itu, tapi sebagai masyarakat yang bijak dan antisipatif, apakah tidak relevan kita berusaha mencegah terjadinya hukuman yang tidak dapat terbalikkan ?

Hukuman mati merupakan legitimasi balas dendam; hutang nyawa dibayar nyawa. Bukan penyelesaian masalah ataupun pencegahan terjadinya perbuatan kriminal yang sama selanjutnya.

Hukuman mati merupakan, rasa emosi sesaat keluarga korban, di mana atas rasa kehilangan yang meluap-luap, ledakan emosi menuntut kematian terdakwa di rasa merupakan satu-satunya penyelesaian.

Membunuh terdakwa tidak mengakhiri masalah yang ada.

Ketika anda membunuh pengedar narkoba, para korban mereka di panti rehabilitasi tidak otomatis langsung sembuh. Ketika anda membunuh seorang pembunuh, tidak secara mukjizat, korban akan hidup kembali. Ketika anda membunuh pelaku kejahatan seksual terhadap anak tidak serta merta anak tersebut langsung terbebas dari trauma.

Retribusi balas dendam adalah lingkaran setan, yang karenanya telah menjatuhkan banyak kematian dalam sejarah manusia.

Pemenjaraan secara seumur hidup dan kerja sosial adalah hukuman yang lebih pantas.

Saya telah membunuh seseorang, kemudian ketika saya sedang depresi, menyesali perbuatan saya, dalam kondisi diri saya yang paling bawah, saya dibunuh oleh hukum.

Penderitaan saya berakhir.

Enak sekali bukan?

Hukum bukan fasilitator balas dendam. Tapi bagaimana terdakwa yang telah melakukan suatu pelanggaran dapat membayarkan kepada yang telah dilanggar haknya suatu kompensasi. Di mana seluruh kekayaan yang proporsional dengan pelanggaran terdakwa disita demi kompensasi, di mana terdakwa dibatasi kebebasannya, dan pemerintah, sebagai perwakilan dari masyarakat yang dilanggar haknya,  memaksa terdakwa untuk bekerja wajib dalam keterbatasan kebebasannya agar terdakwa patuh dan memberikan kompensasi.

Tapi bukan kerja paksa, bukan pembatasan kebebasan, dan apalagi bukan hukuman mati yang merupakan hukuman terberat dalam sejarah manusia.

Hukuman terberat adalah perasaan kesendirian dalam malam yang mencekam. Ketika terdakwa harus berhadapan dengan hati nurani yang dimiliki dirinya atas perbuatan yang ia lakukan sehingga atas dirinya lembaga peradilan merasa pantas membatasi kebebasannya, merupakan hukuman yang paling berat

Professor Jeffrey Fagan, dari Colombia Law School, telah melakukan penelitian meta-analisis (penelitian terhadap penelitian-penelitian lain yang telah dipublikasikan) terhadap penelitian yang ingin membuktikan bahwa hukuman mati adalah detterent (pencegah) terjadinya perbuatan kriminal selanjutnya. Ternyata ditemukan bahwa studi-studi tersebut mengandung ”kesalahan yang amat sangat mendasar” dan “jatuh dalam kategori junk science” yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Death is the hardest on the living.

Kematian terasa paling sakit bagi yang hidup, yang ditinggalkan, bukan oleh korban yang sudah meninggal itu sendiri. Dengan mempertahankan kehidupan terdakwa, kerabat dan keluarga, atau teman dari korban, dapat melewati hari-hari trauma mereka dengan mengunjungi terdakwa yang dipenjara. Dengan mendengarkan pengakuan langsung, dengan mendengarkan isi hati dari terdakwa secara langsung, keluarga yang ditinggalkan dapat dengan lebih mudah untuk mengikhlaskan kejadian yang telah terjadi dan membantu melewati masa-masa sulit, di mana keluarga merasa sangat kehilangan.

Kriminalitas tidak murni terjadi karena keinginan kriminal untuk berbuat jahat. Kondisi sosial-lah yang seringkali memaksa kriminal untuk berbuat melanggar hukum.

Dengan memberikan hukuman mati, berarti kita telah menutup mata kenapa seseorang menjadi kartel narkoba, mungkin ia lahir dalam keluarga yang broken home, dalam kemiskinan yang luar biasa, ia tidak dapat menerima pendidikan. Prevalensi korupsi di negeri ini, membuat kita tahu bahwa hal tersebut bukan kejadian yang aneh, tapi merupakan fakta dan rahasia umum.

Setiap manusia berhak atas kesempatan kedua.

Ya, seseorang dapat melakukan kesalahan, ya seseorang dapat berbuat dosa. Tapi jika saja Tuhan dapat mengampuni manusia yang membunuh, dapat mengampuni manusia yang telah melakukan dosa yang amat sangat. Kenapa kita tidak mampu memberikan kesempatan kedua tersebut?

Banyak cerita, yang jika ingin dicari, bahwa setelah lama dipenjara, maka seorang terdakwa akan bertobat, akan berusaha memperbaiki dirinya. Apakah kita berhak untuk menghalangi terdakwa tersebut untuk berubah menjadi baik setelah ia menyadari kesalahan dirinya, setelah kita menyadari bahwa karena kemiskinan, karena keadaan sosial, dan bukan karena keinginan murni dari terdakwa itu sendiri ia melakukan kejahatan yang sangat luar biasa bagi kita?

Para pembaca sekalian, jika anda bisa membaca artikel ini, anda adalah orang-orang yang beruntung. Berapa manusia yang kesulitan air bersih? berapa manusia yang kesulitan untuk makan? Berapa manusia yang lahir, yang tinggal dalam negara penuh kecaman perang, sehingga suara bom dianggap sebagai petasan yang agak berisik?

Kelahiran merupakan lotere paling tidak adil yang ada dalam kehidupan manusia, apakah saudara lahir dalam keluarga sederhana dan bahagia? Dalam keluarga kaya dan berkecukupan? Dalam ibu yang tidak sedang menginginkan anak? Dalam kemiskinan yang amat sangat sehingga sang ayah harus menitipkan sang bayi ke panti asuhan?

Dan apakah kita pantas, setelah mengetahui seluruh fakta di atas, melakukan suatu hal yang tidak dapat terbalikkan?

Hukuman mati bukan solusi. Saya tidak berbicara tentang kedaulatan negara, saya tidak berbicara tentang balas dendam, saya tidak berbicara tentang perbuatan keji yang pasti pelakunya masuk neraka.

Saya berbicara tentang kemanusiaan.

Untuk memberikan kesempatan bagi mereka yang paling tidak beruntung.

Dengan Hormat, Saudara Anda yang Masih Peduli

Naisbitt Iman

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun