Kata "preman" berasal dari bahasa Belanda vrijman, yang artinya orang bebas, seperti buruh lepas atau tentara bayaran. Seiring waktu, istilah ini jadi punya makna negatif karena sering dikaitkan dengan kekerasan dan ancaman. Di masa penjajahan Belanda dan Jepang, kelompok ini digunakan untuk menjaga ketertiban tanpa terikat hukum resmi, sehingga mereka menjadi alat kekuasaan bayangan yang bekerja di luar jalur negara. Pada masa Orde Baru, preman tidak hilang, malah dimanfaatkan oleh pemerintah lewat organisasi seperti Pemuda Pancasila. Mereka dipakai untuk menekan lawan politik dan mengamankan proyek-proyek pemerintah. Sistem ini menciptakan dua jenis kekuasaan: yang resmi seperti aparat negara, dan yang tidak resmi seperti ormas preman. Setelah reformasi 1998, kekuasaan daerah makin besar. Banyak ormas seperti FBR, FPI, GRIB Jaya, dan Forkabi muncul. Awalnya mereka bergerak di bidang sosial, tapi lama-lama juga terlibat dalam urusan keamanan, parkir liar, bahkan bentrokan. Beberapa dari mereka juga memungut "uang keamanan" dari pelaku usaha, seperti yang terjadi di pasar-pasar. Tokoh seperti Hercules, yang punya latar belakang militer, jadi contoh bagaimana preman bisa masuk ke politik. Bahkan, ada pemerintah daerah yang menolak kehadiran ormas semacam ini karena dianggap meresahkan. Semua ini menunjukkan bahwa premanisme bukan hanya soal kriminal, tapi juga soal kekuasaan yang tumbuh karena lemahnya hukum dan campur tangan politik.
Politik Jatah Preman
Politik jatah preman, atau yang dikenal juga sebagai preman franchise politics, merupakan bentuk kerja sama antara aktor negara (seperti partai politik atau pejabat) dengan aktor non-negara (seperti ormas, kelompok pemuda, atau preman). Konsep ini dikenalkan oleh Ian Douglas Wilson, seorang peneliti yang banyak meneliti kekuasaan informal di Indonesia. Dalam model ini, kelompok preman tidak lagi dianggap sebagai ancaman, tapi justru menjadi bagian dari sistem kekuasaan informal yang ikut mengatur keamanan, wilayah, hingga suara politik di masyarakat.
Fenomena ini makin berkembang setelah jatuhnya Orde Baru pada 1998. Demokratisasi dan desentralisasi membuka ruang yang luas bagi kelompok sipil untuk terlibat dalam politik. Namun, lemahnya lembaga negara membuat kekuatan informal seperti preman dan ormas mengambil alih peran negara di banyak tempat. Mereka menjalin hubungan timbal balik dengan politisi dan pengusaha: kelompok preman membantu mengamankan wilayah dan mengerahkan massa, sementara mereka diberi imbalan berupa proyek, perlindungan hukum, atau akses terhadap kekuasaan. Inilah yang disebut sebagai rezim jatah preman—suatu pola kekuasaan di mana batas antara negara dan kekuatan liar menjadi kabur, dan kekuasaan dijalankan secara transaksional dan penuh kepentingan.
Clientelisme dalam Politik Jatah Preman
Teori clientelisme (klienelisme) dalam ilmu politik dan sosiologi adalah hubungan asimetris antara “patron” (politisi/elites) dan “klien” (masyarakat). Hal ini ditandai dengan adanya timbal balik: dukungan politik ditukar dengan layanan atau sumber daya. Dalam konteks politik jatah preman, clientelisme melibatkan preman sebagai aktor patron-klien informal, dimana elite politik memberi jatah berupa akses kriminal seperti kekerasan, intimidasi, pungutan liar, pengelolaan pasar, parkir, perjudian, dan tempat hiburan sebagai bentuk imbalan atas dukungan politik.
Faktor-faktor Penyebab Politik Jatah Preman
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya politik jatah preman. Pertama, lemahnya institusi negara. Transisi demokrasi tidak disertai dengan penguatan institusi hukum dan keamanan. Negara gagal hadir secara kuat dalam memberikan jaminan keadilan dan perlindungan, sehingga kelompok informal mengisi kekosongan tersebut. Selanjutnya, partai politik cenderung pragmatis dan melihat kelompok-kelompok informal sebagai alat untuk menjaga basis suara, mobilisasi massa, dan intimidasi politik. Pembahasan mengenai ekonomi selalu menjadi perbincangan bagi masyarakat Indonesia, kemiskinan dan keterbatasan ekonomi membuat banyak anak muda dari kelas bawah yang melihat ormas atau kelompok preman sebagai satu-satunya jalur mobilitas sosial. Mereka bekerja sebagai penjaga keamanan, pengumpul iuran, atau “pasukan lapangan” yang disewa untuk berbagai kepentingan. Seperti yang sudah disebutkan juga, orde baru membentuk sistem dimana kekuasaan informal digunakan untuk mengendalikan masyarakat. Warisan ini terbawa ke era reformasi namun tanpa kontrol negara yang kuat. Pasca-reformasi, memberikan ruang yang luas bagi aktor lokal untuk berkuasa. Dalam banyak kasus, hubungan patronase antara kepala daerah dan kelompok preman justru semakin menguat.
Dampak dari Adanya Politik Jatah Preman
Terdapat beberapa dampak dari adanya politik jatah preman yang dapat berpengaruh bagi kehidupan bangsa. Politik jatah preman membuat demokrasi di Indonesia bergeser menjadi arena transaksi antara elite dan kekuatan informal. Demokrasi yang seharusnya mengedepankan musyawarah dan rasionalitas justru dipenuhi kepentingan pribadi dan politik uang. Kekerasan yang dulu bersifat insidental kini menjadi bagian dari sistem politik, digunakan untuk menekan lawan dan menciptakan ketakutan di masyarakat. Aparat negara seperti polisi sering kali tidak netral karena sudah terlibat dalam jaringan kekuasaan informal ini, sehingga penegakan hukum tidak berjalan adil. Dalam situasi seperti ini, ormas dan preman yang menguasai wilayah serta sumber daya lokal bisa menjadi bagian dari oligarki kecil yang mempersempit ruang masyarakat untuk bersuara. Semua ini memperkuat budaya politik patronase, di mana kekuasaan dijalankan lewat hubungan pribadi, bukan sistem atau aturan yang sah. Akibatnya, korupsi semakin meluas, dan demokrasi hanya jadi formalitas tanpa substansi.
Upaya untuk Mengatasi Politik Jatah Preman
Untuk mengatasi masalah politik jatah preman, perlu dilakukan upaya secara menyeluruh yang melibatkan penegakan hukum, reformasi sistem, dan pemberdayaan masyarakat. Penegakan hukum harus dijalankan secara tegas dan adil, tanpa pandang bulu, termasuk terhadap aparat atau pejabat yang terlibat dalam jaringan kekuasaan informal. Premanisme tidak boleh lagi ditoleransi sebagai bagian dari praktik politik. Di sisi lain, regulasi terhadap organisasi masyarakat juga harus diperketat agar aktivitas mereka transparan dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan atau kekerasan. Masyarakat pun harus dilibatkan secara aktif, misalnya melalui program keamanan lingkungan dan pendidikan kewarganegaraan, agar tidak bergantung pada kelompok informal untuk merasa aman. Selain itu, akar dari munculnya premanisme—yaitu kemiskinan dan kurangnya akses pendidikan—harus diatasi dengan menciptakan lapangan kerja, pelatihan keterampilan, dan pendidikan yang terjangkau. Jika semua elemen ini dijalankan bersama, maka ruang gerak premanisme dalam politik akan menyempit, dan demokrasi bisa tumbuh dalam sistem yang lebih sehat dan adil.
Dapat disimpulkan bahwa politik jatah preman bukanlah sekadar praktik kriminal jalanan, melainkan bagian dari sistem kekuasaan informal yang terbentuk akibat lemahnya negara dalam menjalankan fungsi hukumnya secara adil dan merata. Sejarah panjang keterlibatan preman dalam politik, mulai dari masa kolonial hingga pasca-Reformasi, menunjukkan bahwa mereka bukan hanya aktor pinggiran, tetapi telah menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang diakomodasi oleh elit politik demi kepentingan transaksional. Fenomena ini telah merusak prinsip-prinsip demokrasi, memperkuat budaya kekerasan, melemahkan netralitas aparat, dan mempersempit ruang partisipasi publik. Jika dibiarkan, premanisme politik akan terus mengikis kepercayaan masyarakat terhadap negara dan hukum. Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi politik jatah preman harus menyentuh akar masalah: memperkuat penegakan hukum, memperjelas regulasi terhadap organisasi masyarakat, serta memberdayakan masyarakat melalui pendidikan dan kesejahteraan ekonomi. Hanya dengan upaya yang konsisten dan menyeluruh, Indonesia bisa membangun tatanan politik yang bersih, adil, dan benar-benar demokratis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI