Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo dan Perannya dalam Kemerdekaan
Oleh : Naila Nada Firdaus (121251124) PDB 28
Kehidupan Awal dan Latar Belakang
Raden Achmad Soebardjo dilahirkan pada 23 Maret 1896 di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat. Nama lahirnya adalah Teuku Abdul Manaf. Namun rekan ayahnya, Raden Mas Said, mengusulkan agar dirinya dinamakan dengan nama Jawa, yaitu Soebardjo. Kemudian kakek dari pihak ibunya menambahkan nama Achmad di depan nama Soebardjo, sehingga namanya menjadi Achmad Soebardjo. Nama Djojoadisoerjo sendiri baru ditambahkan ketika beliau ditahan di penjara Ponorogo karena Peristiwa 3 Juli 1946. Ia berasal dari keluarga yang terpandang secara sosial: ayahnya, Teuku Muhammad Yusuf, adalah keturunan bangsawan Aceh dari Pidie, dan ibunya, Wardinah, adalah keturunan Jawa-Bugis dan berasal dari latar belakang kepemerintahan lokal di Cirebon. Achmad Soebardjo merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Saudara perempuan beliau yang pertama bernama Siti Chadijah, saudara perempuannya yang nomor dua bernama Siti Alimah, dan saudara laki-lakinya bernama Abdul Rachman.
Pendidikan Achmad Soebardjo
Soebardjo menempuh pendidikan di beberapa sekolah Belanda di Batavia (Jakarta), termasuk Europeesche Lagere School (ELS), kemudian HBS Koning Willem III di Salemba. Setelah lulus sekolah menengah, pada tahun 1919 ia melanjutkan studi di Belanda, di Universitas Leiden, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum) pada tahun 1933. Semasa di Belanda, Soebardjo aktif dalam organisasi mahasiswa Indonesia seperti Jong Java dan Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging), serta berpartisipasi dalam forum-internasional seperti Liga Anti Imperialisme dan Penindasan di Brussels pada tahun 1927.
Peran dalam Kemerdekaan Indonesia
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Soebardjo termasuk tokoh penting dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan kemudian dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI). Dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK), Ahmad Soebardjo aktif menyumbangkan pemikiran-pemikirannya dalam menyusun dasar negara bagi Indonesia yang merdeka. Pada sidang pertama BPUPK, Soebardjo mengemukakan pandangannya bahwa: "Dalam merancang suatu konstitusi bagi Indonesia, adalah suatu kesalahan besar bila kita hanya meniru atau menuliskan kembali suatu Konstitusi dari negara-negara lain. Apa yang baik bagi negara-negara lain, belum tentu baik daripada suatu falsafah hidup yang asing bagi alam pikiran serta pandangan mengenai kehidupan dan dunia" Pernyataan tersebut menjadi salah satu pertimbangan penting bagi BPUPK dalam merumuskan dasar negara. Berkat kontribusi pemikirannya, Ahmad Soebardjo terpilih sebagai anggota Panitia Sembilan yang dibentuk oleh Sukarno, dengan tugas merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada tanggal 16 Agustus 1945, dalam momentum ketegangan antara golongan muda dan golongan tua mengenai waktu dan tempat proklamasi, Soebardjo mengambil peran penting sebagai penengah. Ia ikut serta dalam upaya menjemput Soekarno dan Mohammad Hatta di Rengasdengklok dan memastikan bahwa proklamasi tetap dilakukan di Jakarta keesokan harinya.
Karier Setelah Proklamasi dan Diplomasi
Setelah kemerdekaan, Soebardjo diangkat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia pertama dalam kabinet pertama Republik Indonesia. Ia kemudian kembali menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam periode 1951--1952. Selain itu, Soebardjo pernah ditugaskan sebagai Duta Besar Indonesia untuk Swiss antara tahun 1957--1961.