Mohon tunggu...
nagita maharani
nagita maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa

suka dengerin musik menonton film dan membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tanggapan Saya terhadap artikel Bapak Study Rizal LK.,M.Ag : Bahasa Kalbu diTangga Birokrasi:Air Mata,Lagu,dan Kuasa dalam perpisahan Sri Mulyani

30 September 2025   23:20 Diperbarui: 30 September 2025   23:19 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tulisan Bapak Study Rizal tentang perpisahan Sri Mulyani membawa kita pada sudut pandang yang berbeda dalam melihat sebuah peristiwa di ranah birokrasi. Perpisahan yang biasanya dipandang sekadar sebagai agenda formal, diangkat penulis menjadi momen yang sarat makna. Ada bahasa kalbu, air mata, dan simbol lagu yang digambarkan sebagai bagian dari suasana itu. Dari sini, kita bisa melihat bahwa dunia birokrasi tidak hanya identik dengan aturan dan struktur kaku, tetapi juga memiliki sisi emosional yang nyata.
Sri Mulyani dalam tulisan tersebut digambarkan bukan hanya sebagai seorang pejabat, melainkan sosok manusia yang meninggalkan jejak perasaan bagi orang-orang di sekitarnya. Kehadirannya dianggap menghadirkan cerita, dan perpisahannya meninggalkan kesan yang mendalam. Hal ini memperlihatkan bahwa jabatan atau kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalamnya. Bahkan di balik hiruk pikuk birokrasi, ada ruang untuk rasa haru dan penghargaan.


Dari sisi makna, tulisan ini memberi pengingat bahwa kekuasaan dan jabatan selalu berhubungan dengan manusia yang menjalaninya. Kepergian seorang pejabat tidak semata-mata soal pergantian posisi, tapi juga menyangkut hubungan emosional, kenangan, dan dampak bagi orang lain. Dalam konteks Sri Mulyani, perpisahan itu seolah menjadi simbol bagaimana kekuasaan bisa menyentuh hati banyak orang, bukan hanya menjalankan fungsi formal.


Selain itu, refleksi yang muncul dari tulisan ini juga memberi kita pemahaman bahwa birokrasi tidak hanya sebatas mesin administrasi negara. Ada nuansa rasa yang tak bisa dihilangkan, dan peristiwa seperti perpisahan seorang pejabat menunjukkan sisi tersebut dengan jelas. Kita sebagai masyarakat bisa belajar bahwa menghargai figur publik tidak hanya dilihat dari prestasi formal, tetapi juga dari kesan dan hubungan yang ditinggalkan.


Pada akhirnya, tulisan ini mendorong kita untuk melihat kembali makna kekuasaan. Kekuasaan bukan hanya tentang wewenang dan aturan, melainkan juga tentang bagaimana seorang tokoh mampu menghadirkan kedekatan, menginspirasi, atau bahkan meninggalkan rasa kehilangan saat berpisah. Dari sana, kita diajak memahami bahwa dunia birokrasi tetap memiliki ruang untuk kemanusiaan, dan justru itulah yang membuatnya lebih bermakna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun