Gen Z Peduli Mental Health: Kesadaran atau Tren?
Di tengah hingar-bingar media sosial dan kehidupan serbadigital, muncul satu pemandangan menarik dari GEN Z mereka lebih terbuka membicarakan kesehatan mental. Di Twitter, Instagram, hingga TikTok, tagar seperti #SelfCare, #Anxiety, dan #MentalHealthAwareness berseliweran seolah menjadi bagian dari identitas digital.
Hari ini, bukan hal aneh melihat seseorang mengunggah foto dirinya sedang menangis, disertai caption "self-healing". Di kolom komentar, balasan seperti "kamu kuat", "semangat yaa", atau "stay safe, mental health first" menjadi bentuk empati baru yang umum ditemui di dunia maya. Generasi Z, generasi yang lahir dan tumbuh dengan internet di genggaman, kini tampil sebagai kelompok yang paling vokal membicarakan kesehatan mental.
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang cenderung memendam luka batin dan menganggap depresi sebagai "lemah iman" atau "kurang bersyukur", Gen Z justru membawa narasi baru rasa sedih itu valid, luka mental itu nyata, dan bantuan profesional itu penting. Ruang-ruang digital mereka,TikTok, Twitter, Instagram berubah menjadi tempat berbagi pengalaman traumatis, mengenali emosi, hingga menyebarkan edukasi soal psikologi dasar.
Fenomena ini menunjukkan sebuah kemajuan sosial. Stigma terhadap isu mental kini mulai patah, berganti menjadi solidaritas kolektif. Anak-anak muda tak lagi malu mengatakan bahwa mereka sedang cemas, burnout, atau butuh waktu untuk pulih. Dalam satu sisi, ini patut diapresiasi. Generasi ini memberi contoh bahwa merawat diri bukan tindakan egois, melainkan bentuk tanggung jawab pribadi.
Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan besar yang perlu kita renungkan bersama: apakah kepedulian Gen Z terhadap mental health benar-benar lahir dari kesadaran yang utuh? Ataukah ia justru menjelma jadi tren yang dikonsumsi dalam bentuk kutipan, aesthetic reels, atau akun-akun "terapi virtual"tanpa penghayatan yang cukup?
Kesadaran Baru yang Tumbuh
Berbagai studi menunjukkan bahwa Gen Z memang punya tingkat kesadaran mental health yang tinggi. Laporan dari YouGov (2022) mengungkapkan bahwa 64% Gen Z di Indonesia pernah merasa stres berat, cemas, atau tertekan dan mereka jauh lebih terbuka membicarakannya dibanding generasi sebelumnya.
Data ini sejalan dengan survei American Psychological Association (2020) yang menyebut Gen Z sebagai generasi paling sadar dan aktif dalam mencari bantuan psikologis. Mereka tidak hanya terbuka bicara, tapi juga lebih akrab dengan terapi, journaling, meditasi, dan gaya hidup mindful.
Hal ini merupakan kemajuan. Karena dulu, luka mental lebih sering dianggap "kurang bersyukur" atau "kurang ibadah". Kini, Gen Z berhasil mengubah rasa sakit menjadi bahan diskusi, bahkan solidaritas.
namun, kepedulian ini juga punya sisi gelap. Banyak konten soal mental health di media sosial dibagikan tanpa konteks atau dasar keilmuan. Istilah-istilah psikologis yang seharusnya digunakan oleh tenaga ahli, kini digunakan sembarangan sebagai label identitas.