Selama bertahun-tahun, sistem penilaian dalam pembelajaran ekonomi di sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia masih bertumpu pada pola lama. Tes pilihan ganda, uraian, atau isian singkat menjadi pendekatan dominan yang terus dipakai. Bagi sebagian kalangan, cara ini dianggap "standar" yang tak perlu dipertanyakan lagi. Padahal, dunia sudah berubah. Pendidikan pun seharusnya ikut berkembang. Saat ini, siswa dituntut untuk tidak sekadar memahami pengertian "inflasi" dari buku pelajaran, tetapi mampu menjelaskan bagaimana inflasi memengaruhi pengeluaran rumah tangga, biaya hidup sehari-hari, hingga daya beli masyarakat. Kemampuan seperti itu tidak cukup diukur dengan tes tertulis semata. Di sinilah pendekatan penilaian berbasis kinerja menemukan relevansinya.
Dari Menghafal ke Mengalami
Penilaian kinerja (performance assessment) bukan cuma soal menilai hasil akhir, tapi juga menilai proses berpikir, keterampilan analisis, serta kemampuan menerapkan ilmu dalam konteks yang nyata. Misalnya, siswa bisa ditugaskan membuat simulasi pasar sederhana, menyusun rencana keuangan keluarga berdasarkan data pengeluaran harian, atau merancang solusi atas masalah ekonomi lokal yang sedang mereka hadapi di lingkungan sekitarnya. Penilaian semacam ini mengajak siswa untuk mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, sebuah aspek penting yang kerap terabaikan dalam model penilaian tradisional.
Dalam konteks pendidikan ekonomi, ini menjadi sangat krusial. Ekonomi bukan hanya tentang rumus, kurva permintaan-penawaran, atau istilah-istilah asing. Ekonomi adalah tentang pilihan dan dampaknya. Oleh karena itu, penilaiannya pun harus bersifat aplikatif, kontekstual, dan eksploratif. Meski konsepnya menjanjikan, realitanya tidak semua guru siap menerapkan penilaian berbasis kinerja. Banyak yang masih terbiasa dengan model evaluasi berbasis angka karena dinilai lebih praktis, cepat, dan terlihat objektif. Belum lagi tekanan dari sekolah atau orang tua yang lebih fokus pada nilai akhir ketimbang proses belajar siswa.
Penilaian kinerja membutuhkan waktu yang lebih panjang, rancangan rubrik penilaian yang jelas, serta pelatihan pedagogik yang memadai. Guru perlu belajar cara menilai proses berpikir, kerja kolaboratif, hingga hasil proyek yang bentuknya bisa sangat beragam. Ini jelas menantang, apalagi jika beban administratif guru sudah tinggi. Di tingkat sistem, tantangan juga muncul dari kurikulum dan kebijakan evaluasi yang masih mengutamakan tes standar. Ujian akhir yang berbasis pilihan ganda masih menjadi tolok ukur utama, sehingga guru pun terjebak dalam tekanan untuk tetap menggunakan metode penilaian lama demi mengejar skor capaian.
Berbagai studi menunjukkan bahwa ketika siswa dinilai melalui proyek, presentasi, atau studi kasus, mereka cenderung lebih antusias dan merasa bahwa pembelajaran lebih bermakna. Bahkan siswa yang sebelumnya pasif di kelas menjadi lebih terlibat ketika diberikan kebebasan dalam mengekspresikan pemahamannya. Penilaian kinerja juga membuka peluang pembelajaran yang lebih inklusif. Siswa dengan gaya belajar visual, kinestetik, atau kolaboratif tidak lagi terpinggirkan hanya karena kurang unggul dalam ujian tulis. Mereka bisa menunjukkan pemahamannya melalui berbagai media: infografik, vlog ekonomi, simulasi digital, atau laporan proyek sosial berbasis data ekonomi.
Lebih dari itu, penilaian kinerja mendukung keterampilan abad ke-21 yang sedang digaungkan dalam pendidikan global: berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi. Ini adalah keterampilan yang akan jauh lebih relevan ketika siswa memasuki dunia kerja atau dunia nyata. Transformasi ini tentu memerlukan dukungan banyak pihak. Guru perlu diberi ruang dan pelatihan untuk bereksperimen dengan bentuk-bentuk penilaian baru. Sekolah dan pemangku kebijakan juga harus bersedia membuka ruang inovasi dalam kurikulum dan sistem asesmen. Perubahan tak harus besar di awal, satu proyek berbasis penilaian kinerja setiap semester bisa menjadi pijakan awal yang kuat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI