Mohon tunggu...
Nafira Alfi Zaini Amrillah
Nafira Alfi Zaini Amrillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - Universitas Ahmad Dahlan - Magang di Kementrian ESDM - Gerilyawan

Get out of your comfort zone, get your dreams and get your happines

Selanjutnya

Tutup

Nature

GERILYA: Rekonstruksi Pola Pikir Masyarakat terhadap Listrik Energi Surya

19 Februari 2022   19:30 Diperbarui: 19 Februari 2022   19:44 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Energi Listrik merupakan faktor utama yang mendukung pembangunan suatu wilayah dan menjadi kebutuhan utama dalam setiap kegiatan masyarakat. Energi listrik merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Namun begitu tingkat ketergantungan manusia terhadap energi listrik cukup tinggi, mulai dari keperluan rumah tangga hingga sebagai penunjang pendidikan. 

Menurut data Kementrian ESDM, konsumsi Listrik di Indonesia tahun 2021 mencapai 1.109 kWh/Kapita pada kuartal ketiga. Angka tersebut diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya sebanding dengan pertambahan jumlah penduduk dan pembangunan insfrastuktur. 

Oleh sebab itu diperlukan peningkatan kapasitas produksi listrik alternatif terutama dari sumber daya alam yang melimpah seperti matahari. Potensi matahari (energi surya) di Indonesia yang merupakan negara tropis mencapai 4,8 kWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp. 

Sayangnya dari potensi tersebut, Indonesia baru memanfaatkan sekitar 10MWp (EBTKE, 2019). Sehingga masih tersisa banyak energi matahari yang sia-sia tidak tersalurkan manfaatnya.

Merujuk pada keunggulan energi surya yaitu ramah lingkungan artinya dengan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya dapat membawa suatu lokasi menuju Net Zeo Emission. 

Net Zero Emission (karbon netral) adalah upaya penyeimbangan kadar CO2 yang dilepaskan ke atmosfer agar bisa diserap oleh ekosistem di bumi sehingga meminimalisir efek rumah kaca. Ketika berbicara tentang popularitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya di kalangan masyarakat dibandingkan listrik berbasis batu bara terbilang kalah pamor. Faktor utama yang melandasi masalah tersebut adalah keterkaitannya dalam hal ekonomi. 

Stigma masyarakat menyatakan bahwa harga listrik tenaga surya lebih mahal daripada listrik biasanya. Jenis “Listrik biasanya” adalah listrik dengan sumber fosil yaitu batu bara. 

Memang kalau melihat sisi ekonomi hal tersebut tidak salah, namun masyarakat perlu membuat penilaian jangka panjang. Batu bara merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, artinya lama kelamaan dapat habis dan tidak akan ada lagi yang tersisa. Jadi ketika penggunaan semakin meningkat maka persediaan akan semakin menipis. 

Sebelum hal itu terjadi maka diperlukan energi listrik alternatif yang dapat menghambat laju penggunaan energi listrik batu bara, salah satunya adalah dengan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya.

Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan penggunaan listrik energi surya adalah melalui PLTS Atap. PLTS Atap adalah pembangkit tenaga listrik menggunkan modul fotovoltaik yang dipasang dan diletakkan pada atap atau dinding bangunan sehingga dapat dialrikan listrik memalui sambungan listrik konsumen PLN. 

Sistem ini sifatnya lebih menghemat tagihan listrik bulanan sebab daya yang dihasilkan PLTS Atap akan secara otomatis memotong 65% dari total daya listrik yang dihasilkan PLTS Atap. Jadi konsumen hanya perlu membayar 35% ditambah biaya listrik dari PLN. Jadi tagihan listrik akan menjadi lebih murah (Kominfo, 2019).

Dengan turunnya harga listrik energi surya harusnya masyarakat bisa mulai mencoba untuk melakukan transisi dari listrik energi fosil menjadi PLTS. 

Bukan hal yang mudah untuk melakukan rekonstruksi pola pikir masyarakat, sebab tidak semua masyarakat memahami konsep utama dalam Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Sehingga diperlukan segelintir orang yang mampu menjadi  pion utama dalam memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang bagaimana konsep dari listrik energi surya. 

Siapakah yang seharusnya menjadi pion utama tersebut ? apakah pemerintah atau pekerja PLTS ? bukan, bukan mereka melainkan dari agent of change yaitu para mahasiswa yang memiliki pola pikir luas yang sudah menjadi kewajibannya untuk mulai membawa kontrol arus masyarakat Indonesia dari mindset jangka pendek menjadi mindset jangka panjang.

Memerlukan suatu wadah khusus bagi mahasiswa agar bisa mencurahkan ide-ide yang dimiliki agar bisa membantu rekonstruksi pola pikir masyarakat Indonesia terhadap pentingnya transisi energi listrik. 

Wadah tersebut adalah GERILYA (Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya) yang merupakan suatu gerakan mahasiswa yang dibentuk atas inisiatif dari Kementrian ESDM dan terdiri dari kumpulan mahasiswa dari berbagai institusi perguruan tinggi di bawah Kemendikbud serta dibimbing oleh mentor-mentor yang mumpuni. 

Disana mahasiswa akan banyak belajar tentang bagaimana proses produksi listrik dari sumber energi matahari serta mempromosikan PLTS sebagai energi alternatif kepada calon pengguna. 

Mahasiswa yang tergabung dalam GERILYA diberikan kesempatan untuk terjun ke lapangan dan melihat secara langsung bagamana sistem dapat berjalan, lalu dengan bekal tersebut mahasiswa diharapkan dapat memunculkan berbagai ide-ide baru untuk meningkatkan laju branding dari PLTS. Gerakan ini diharapkan dapat menjadi barisan paling depan dalam mengedukasi masyarakat. Mengapa harus mahasiswa ?

Dari kacamata masyarakat secara umum menganggap mahasiswa adalah kaum intelektual yang memiliki semangat membara untuk menjadi iron stocks. Untuk menjaga kepercayaan tersebut agar tetap melekat pada diri mahasiswa, mahasiswa perlu terjun langsung ke masyarakat. 

Di periode ini, pengabdian pada masyarakat tidak hanya melalui demonstrasi saja. Jika demonstasi adalah bentuk pengabdian jangka pendek pada masyarakat, maka GERILYA dapat dikatakan sebagai bentuk pengabdian jangka panjang untuk masyarakat. 

Mengapa begitu? Sebab mahasiswa tidak hanya akan membawa manfaat bagi masyarakat di periode itu, namun juga untuk masa depan ketersediaan energi Indonesia. 

Semakin kita mampu menghemat energi fosil, maka akan semakin banyak yang akan tersisa untuk anak cucu kita ke depannya. Bagaimana mahasiswa dapat mengedukasi masyarakat bahwa pengeluaran untuk menggunakan PLTS yang memang sedikit lebih banyak daripada listrik biasanya adalah suatu bentuk investasi untuk masa depan keturunan kita.

Cerdas dalam berpikir, kreatif dalam berinovasi dan bertanggung jawab dalam mengedukasi harus dijadikan pedoman di dalam GERILYA. Keyakinan penuh terhadap tercapainya tujuan gerakan harus dimiliki oleh setiap mahasiswa yang tergabung di dalamnya.  

Semakin banyak masyarakat yang mengerti akan pentingnya transisi perubahan sumber energi listrik akan semakin baik dan akan semakin dekat untuk membawa Indonesia menuju Net Zero Emission. Akhir kata, penulis ingin mengajak seluruh pembaca untuk bersama-sama mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dan bebas emisi karbon.

 


DAFTAR PUSTAKA


EBTKE, H. (2019, September 26). Peluang Besar Kejar Target EBT Melalui Energi Surya. Retrieved from Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (RBTKE): ebtke.esdm.go.id

Kominfo. (2019, Agustus 08). Pasang PLTS Atap, Tagihan Listrik Lebih Hemat. Retrieved from Kementrian Komunikasi dan Informasi: kominfo.go.id

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun