Risywah, yang sering disebut sebagai suap dalam bahasa Indonesia, merupakan salah satu bentuk perilaku koruptif yang telah menjadi masalah global sejak zaman kuno. Secara etimologis, istilah "rishwah" berasal dari bahasa Arab, yang berarti pemberian atau janji sesuatu yang berharga untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan seseorang, terutama yang memiliki wewenang. Pengertian ini tidak hanya terbatas pada transaksi material, tetapi juga mencakup segala bentuk imbalan yang dapat mengganggu keadilan dan integritas. Dalam konteks modern, rishwah sering dikaitkan dengan korupsi, di mana individu atau kelompok memberikan keuntungan pribadi untuk mendapatkan keuntungan yang tidak sah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, edisi ke-6, 2016), rishwah didefinisikan sebagai "pemberian atau janji pemberian sesuatu kepada pegawai negeri atau orang lain untuk mempengaruhi tindakannya." Definisi ini menekankan aspek transaksional yang merusak prinsip-prinsip moral dan hukum.
    Dari aspek hukum, rishwah diatur secara ketat di berbagai yurisdiksi. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001) mengklasifikasikan rishwah sebagai bentuk korupsi yang melibatkan penerimaan atau pemberian suap oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pasal 5 hingga 12 UU tersebut menjelaskan bahwa rishwah dapat dihukum pidana penjara hingga seumur hidup, tergantung pada nilai suap dan dampaknya. Secara internasional, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (UNCAC, 2003) mendefinisikan suap sebagai "pemberian, janji, atau penawaran yang tidak sah dari keuntungan apa pun untuk mempengaruhi tindakan pejabat publik." Hal ini menunjukkan bahwa rishwah bukan hanya pelanggaran domestik, tetapi juga ancaman terhadap tata kelola global. Menurut Transparency International (2022), rishwah merusak sistem hukum dengan menciptakan ketidakadilan, di mana yang kaya semakin berkuasa dan yang miskin semakin tertindas.
   Dalam perspektif agama, khususnya Islam, rishwah dianggap sebagai dosa besar yang dilarang secara tegas. Al-Quran menyiratkan larangan ini dalam Surah Al-Baqarah ayat 188: "Dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan jalan menyuap agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui." Ayat ini menekankan bahwa suap adalah cara batil untuk mengonsumsi harta orang lain, yang merusak fondasi keadilan sosial. Selain itu, Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah menyatakan, "Sesungguhnya yang paling layak dimasukkan ke dalam api neraka adalah orang yang suka memberi dan menerima suap" (HR. Muslim, tanpa tahun spesifik, tapi dikompilasi sekitar abad ke-9 M). Ulama seperti Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin (abad ke-11 M) menggambarkan rishwah sebagai penyakit hati yang merusak iman, karena ia mengubah prioritas dari ketaatan kepada Tuhan menjadi keserakahan duniawi. Dalam konteks Kristen, Alkitab dalam Kitab Keluaran 23:8 juga melarang suap: "Janganlah kamu menerima suap, karena suap membuat orang yang berpenglihatan buta dan merusakkan perkataan orang-orang yang benar." Ini menunjukkan kesamaan pandangan antaragama bahwa rishwah melanggar etika ilahi.
    Secara etis dan filosofis, rishwah bertentangan dengan prinsip keadilan dan integritas. Menurut filsuf Yunani Aristoteles dalam Etika Nikomakeia (abad ke-4 SM), keadilan distributif mengharuskan pembagian sumber daya berdasarkan merit, bukan imbalan tersembunyi. Rishwah mengganggu hal ini dengan menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan. Di era modern, etika bisnis seperti yang dibahas oleh Michael C. Jensen dalam Corporate Ethics (2000) menyoroti bahwa suap merusak kepercayaan stakeholder dan menghambat inovasi berkelanjutan. Mahatma Gandhi, tokoh perjuangan kemerdekaan India, pernah menyatakan, "Korupsi dan suap adalah musuh terbesar demokrasi, karena ia mengubah pemimpin menjadi budak nafsu" (dalam pidato tahun 1947, dikutip dari The Collected Works of Mahatma Gandhi, Vol. 88). Kutipan ini relevan karena menekankan dampak destruktif rishwah terhadap institusi demokrasi, di mana kebebasan dipromosikan tapi korupsi merusaknya.
   Dari aspek sosial dan ekonomi, rishwah memiliki implikasi luas yang merugikan masyarakat. Secara sosial, ia memperlemah kepercayaan publik terhadap institusi, seperti yang terlihat dalam survei World Values Survey (2020) yang menunjukkan bahwa negara dengan tingkat suap tinggi memiliki tingkat partisipasi sipil yang rendah. Ekonomi, rishwah menghambat pertumbuhan dengan mengalihkan sumber daya dari proyek publik ke kantong pribadi. Laporan Bank Dunia (2021) memperkirakan bahwa korupsi global, termasuk suap, menyebabkan kerugian hingga 2% dari PDB dunia setiap tahunnya. Di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, 2022) mencatat bahwa rishwah di sektor pengadaan barang/jasa sering kali menunda pembangunan infrastruktur, memperburuk kemiskinan.
    Secara keseluruhan, rishwah adalah fenomena multifaset yang merusak fondasi sosial, hukum, etis, dan spiritual. Untuk memeranginya, diperlukan pendidikan moral yang kuat, penegakan hukum yang tegas, dan transparansi institusional. Dengan memahami pengertiannya secara menyeluruh, masyarakat dapat lebih waspada dan berkontribusi dalam membangun lingkungan yang bersih dari suap
   Untuk memahami risywah secara lebih konkret, berikut beberapa contoh praktik risywah yang sering terjadi:
Suap dalam Proses Pengadaan Barang dan Jasa.
Seorang pengusaha memberikan sejumlah uang kepada pejabat pengadaan barang di sebuah instansi pemerintah agar perusahaannya memenangkan tender proyek. Padahal, perusahaan tersebut tidak memenuhi kriteria yang seharusnya.Suap dalam Proses Perizinan
Seorang warga atau pengusaha memberikan uang kepada petugas perizinan agar proses pengurusan izin menjadi lebih cepat atau agar izin diberikan meskipun persyaratan tidak lengkap.Suap dalam Penegakan Hukum
Seorang terdakwa memberikan uang kepada aparat penegak hukum agar kasusnya diperlakukan dengan ringan atau bahkan dibebaskan.Suap dalam Dunia Pendidikan
Seorang orang tua memberikan uang kepada guru atau pejabat sekolah agar anaknya diterima di sekolah favorit atau mendapatkan nilai yang lebih baik.