Peranan historiografi tradisional dalam penulisan sejarah Indonesia
Historiografi tradisional memiliki peranan yang sangat penting dalam penulisan sejarah Indonesia, terutama pada masa kerajaan Hindu-Buddha dan Islam. Sebagai bentuk rekaman sejarah yang ditulis oleh masyarakat pada zamannya, historiografi tradisional mencerminkan identitas dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tersebut. Naskah-naskah yang dihasilkan sering kali mengandung unsur-unsur mitos dan kepercayaan yang kuat, yang menunjukkan cara pandang masyarakat terhadap dunia dan peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Meskipun banyak dari isi naskah tersebut tidak dapat dianggap sebagai fakta sejarah yang objektif, mereka tetap memberikan wawasan berharga tentang sistem kemasyarakatan, norma-norma budaya, dan pelaksanaan ajaran agama pada masa itu. Historiografi tradisional juga berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan ingatan kolektif masyarakat, di mana kisah-kisah heroik dan legenda tentang tokoh-tokoh penting sering kali diceritakan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, historiografi tradisional tidak hanya berperan dalam mendokumentasikan sejarah, tetapi juga dalam membentuk identitas budaya dan sosial masyarakat Indonesia.
(Bagaskara, 2024) menjelaskan bahwa historiografi tradisional memiliki peranan yang sangat penting dalam penulisan sejarah Indonesia, terutama dalam konteks sejarah Islam. Sebagai sumber primer, karya-karya historiografi tradisional menyediakan informasi yang kaya dan beragam mengenai peristiwa, tokoh, dan budaya yang membentuk sejarah Nusantara. Karya-karya ini tidak hanya berfokus pada aspek politik, tetapi juga mencakup dimensi sosial dan budaya, yang memungkinkan peneliti untuk memahami konteks masyarakat pada masa itu. Selain itu, historiografi tradisional berkontribusi pada pengembangan studi agama Islam dan ilmu humaniora lainnya, dengan banyak karya ditulis dalam bahasa Arab atau menggunakan aksara Arab dengan bahasa lokal. Seiring dengan perkembangan zaman, historiografi tradisional terus beradaptasi dan memberikan peluang untuk penelitian baru yang variatif, memperkaya pemahaman tentang sejarah Islam di Indonesia. Dengan demikian, historiografi tradisional tidak hanya menjadi referensi penting bagi sejarawan, tetapi juga berperan dalam membentuk corak baru dalam penulisan sejarah, yang dikenal sebagai sejarah baru (new history), yang lebih analitis dan metodologis.
Ciri – ciri Historiografi Tradisional
Sartono Kartodirjo dalam (Puguh, 2024) mendefinisikan historiografi tradisional adalah salah satu kategori historiografi yang merujuk kepada sumber-sumber sejarah lokal berbahasa daerah seperti babad, hikayat, serat dan kronik yang menggambarkan sudut pandang internal masyarakat setempat dalam bentuk prosa atau puisi. Sumber-sumber ini memberikan gambaran yang mendalam mengenai keadaan masyarakat di masa lampau. Namun menurut Sartono, sumber-sumber ini membutuhkan kritik tekstual dari sejarawan untuk memisahkan unsur-unsur mitos, legenda, dan fakta sehingga dapat dijadikan sumber yang akurat dalam penulisan sejarah. Oleh karena itu, historiografi tradisional menurut pendekatan Sartono merujuk pada sumber-sumber sejarah lokal berbahasa daerah yang perlu diteliti secara filologis agar dapat bermanfaat dalam merekonstruksi masa lampau.
Adapun ciri-ciri historiografi tradisional adalah:
1. Tidak mencerminkan aspek kronologi: Artinya dalam historiografi tradisional tidak ada urutan peristiwa secara   kronologis/berurutan menurut waktunya. Misalnya tidak diberikan tahun-tahun tertentu     ketika suatu peristiwa terjadi.
2. Lebih fokus pada pengajaran agama: Isinya lebih banyak menyampaikan ajaran-ajaran agama seperti pedoman moral   daripada mendeskripsikan peristiwa secara historis. Misalnya uraian tentang cara      mencapai keselamatan spiritual.
3. Penulis, waktu, dan tempat tidak jelas:  Tidak disebutkan secara eksplisit siapa penulisnya, kapan ditulis, atau dimana lokasi     penulisan. Hanya ada petunjuk-petunjuk tertentu saja.
4. Kuat unsur mitologi dan imajinatif: Banyak unsur cerita mitos dan imajinasi penulis masuk ke dalam tulisan tanpa ada       pemisahan fakta sejarah.
5. Mencerminkan budaya penulis: Isinya dipengaruhi unsur-unsur budaya penulis seperti bahasa, kebiasaan, kepercayaan    yang ada pada masyarakatnya.