Penulis: Nadila Siti Fauziah dan Nur Lidia Safira
Mahasiswa Program Studi PPKn, Universitas PamulangÂ
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 1 Tahun 2025 telah resmi diberlakukan sebagai pembaruan atas Permenaker No. 5 Tahun 2021. Aturan ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat pelaksanaan tiga program utama jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Hari Tua (JHT). Perubahan ini lahir dari kesadaran bahwa sistem perlindungan ketenagakerjaan perlu terus diperkuat untuk menyesuaikan dengan tantangan zaman dan dinamika dunia kerja yang kian kompleks.
Permenaker ini disusun sebagai respon terhadap rendahnya tingkat perlindungan pekerja terhadap risiko kerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari sekitar 92 juta pekerja aktif di Indonesia, hanya sekitar 52 juta yang telah tercakup dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Angka ini menunjukkan masih adanya kesenjangan perlindungan, khususnya di kalangan pekerja informal, non-ASN, dan mereka yang bekerja dalam sektor-sektor yang belum optimal terjangkau sistem jaminan sosial. Oleh karena itu, regulasi ini hadir untuk memperluas cakupan kepesertaan dan memastikan bahwa setiap pekerja, apapun bentuk hubungan kerjanya, memiliki hak atas perlindungan dasar yang memadai.
Salah satu perubahan paling signifikan dalam Permenaker ini adalah kewajiban pendaftaran pegawai non-Aparatur Sipil Negara (non-ASN) dalam program JKK dan JKM. Termasuk dalam kategori ini adalah tenaga honorer, staf teknis, maupun pegawai lembaga negara non-struktural. Kewajiban ini melekat pada instansi atau lembaga tempat mereka bekerja, dengan tanggung jawab iuran dan pelaporan dibebankan kepada pejabat pembina kepegawaian. Langkah ini bertujuan untuk menghilangkan ketimpangan perlindungan antara pegawai ASN dan non-ASN.
Selain itu, cakupan risiko yang dilindungi dalam program JKK diperluas secara signifikan. Kini, risiko kekerasan fisik maupun kekerasan seksual seperti pemerkosaan di tempat kerja dapat dikategorikan sebagai kecelakaan kerja, asalkan dibuktikan dengan surat keterangan dari kepolisian serta visum dari tenaga medis. Penambahan ini mencerminkan perkembangan pemahaman terhadap bentuk-bentuk risiko kerja yang tidak selalu bersifat fisik maupun teknis, tetapi juga menyangkut keselamatan dan keamanan psikososial pekerja.
Permenaker ini juga menyempurnakan prosedur pelaporan dan penanganan kasus kecelakaan kerja serta penyakit akibat kerja. Kini, BPJS Ketenagakerjaan atau BPJS Kesehatan wajib memberikan layanan kesehatan kepada pekerja meskipun status kecelakaan atau penyakit kerja tersebut masih dalam proses penetapan. Ini memberikan jaminan bahwa pekerja tetap mendapat akses perawatan sejak dini tanpa harus menunggu proses administratif yang panjang.
Untuk pekerja yang memiliki lebih dari satu pemberi kerja, seperti freelance atau pekerja paruh waktu, aturan baru ini menjamin mereka tetap berhak atas manfaat program JKM. Ini menjadi bentuk pengakuan terhadap realitas pekerjaan multiperan yang semakin lazim dalam ekosistem ekonomi modern. Pekerja tidak lagi perlu khawatir kehilangan manfaat hanya karena pola kerja mereka tidak konvensional.
Kemudahan akses terhadap manfaat beasiswa bagi anak pekerja yang mengalami kecelakaan kerja atau meninggal dunia juga menjadi fokus dalam revisi ini. Prosedur administrasi disederhanakan, sehingga keluarga pekerja dapat dengan lebih mudah mendapatkan hak pendidikan bagi anak-anak mereka, bahkan hingga jenjang pendidikan tinggi.
Sementara itu, untuk menghindari potensi penyalahgunaan klaim, pemerintah memperketat persyaratan pemberian manfaat JKM bagi peserta bukan penerima upah (BPU). Peserta yang baru mendaftar wajib memiliki masa kepesertaan dan pembayaran iuran minimal tiga bulan untuk mendapatkan manfaat penuh. Namun, apabila peserta meninggal dunia sebelum masa kepesertaan tersebut tercapai, BPJS tetap menanggung biaya pemakaman, sebagai bentuk penghormatan dasar terhadap hak peserta.
Diberlakukannya Permenaker No. 1 Tahun 2025 diharapkan membawa dampak nyata terhadap efektivitas dan keadilan dalam penyelenggaraan jaminan sosial ketenagakerjaan. Pemerintah menginginkan layanan BPJS Ketenagakerjaan menjadi lebih responsif dan inklusif, serta mempercepat proses klaim dan pembayaran manfaat agar lebih pasti dan manusiawi. Hal ini juga mencerminkan peningkatan peran negara dalam melindungi warganya dari risiko sosial dan ekonomi akibat peristiwa yang berada di luar kendali individu pekerja.