Mohon tunggu...
Nadiatul izzah
Nadiatul izzah Mohon Tunggu... Sekretaris - mahasiswa

31 Desember 1999 tegal

Selanjutnya

Tutup

Nature

Memudarnya Kearifan Lokal dalam Pemenuhan Kebutuhan Air Masyarakat DAS Citanduy dan Subak Bali

3 Juni 2020   15:25 Diperbarui: 3 Juni 2020   15:25 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Sumber lokal dengan pemanfaatan potensi lokal, seperti pohon dadap di DAS Citanduy, dan terowongan irigasi dibuat melengkung mengandalkan kekuatan batuan asli di Subak.

Proses sosial lokal berupa keramatisasi pengelolaan sumber daya air di DAS Citanduy, dan upacara ritual sebelum pekerjaan di sawah dimulai di Subak Bali.

Masyarakat memenuhi kebutuhan airnya dengan memanfaatkan dan mengelola sumber daya air yang ada di wilayahnya, sesuai dengan kearifan lokal yang dipraktikkan secara turun temurun. Bentuk atau jenis kearifan lokal bervariasi menurut kelompok masyarakat dan wilayah, namun sebagai pondasi masyrakat, kearifan lokal memiliki nilai universal yang sama, yaitu gotong royong dan tolong menolong untuk mendapatkan air dan menjaga kelestarian sumber dayanya. Memudarnya kebersamaan dan kegiatan gotong royong dialami masyarakat di sebagian besar masyarakat Indonesia.

Di Kalimantan Tengah, misalnya, masyarakat dulunya membuat dan memelihara handil (berupa parit atau sungai kecil di daerah pasang surut) secara bersama-sama, namun kegiatan ini telah memudar.  Padahal kearifan masyarakat ini sangat diperlukan, karena handil mempunyai multi fungsi, seperti: saluran untuk mengairi sawah, jalur transportasi air masyarakat dari permukiman ke sawah atau ladang/kebun dan ke hutan untuk mengambil hasil hutan yang dibutuhkan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari, dan tempat MCK (mandi, cuci dan kakus). (Octora dkk, 2010).

 Eksistensi kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia, sayangnya, telah mengalami penurunan. Kondisi ini digambarkan dari banyaknya nilai-nilai kearifan lokal yang sudah tidak dipraktikkan lagi, dan di banyak tempat, keberadaan kearifan lokal sudah 'diabaikan' dan tinggal menjadi cerita masyarakat. Di beberapa tempat lainnya, kearifan lokal bahkan telah hilang.

Masyarakat, terutama generasi muda sudah tidak mengetahui lagi adanya kearifan lokal di daerahnya, hanya ada satu atau dua 'sesepuh' anggota masyarakat yang mengetahui . Memudarnya nilai kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air juga berkaitan dengan lunturnya kelembagaan tradisional yang digantikan oleh kelembagaan resmi yang umumnya dikembangkan oleh pemerintah, seperti Persatuan Petani Pemakai air (P3A). Perubahan ini menyebabkan berubahnya pengelolaan air dari semula berbasis 'nilai dan tradisi' dalam masyarakat yang dipadukan dengan keselarasan hidup dengan alam di sekitarnya, menjadi pengelolaan yang berbasis 'hubungan struktural' yang merupakan hubungan relasi kekuasaan, misalnya pemerintah dari instansi yang terkait, pengurus  dan anggota P3A serta masyarakat lainnya.

Selain dari hal tersebut berdampak pula terhadap ekonomi dengan  memudarnya kearifan lokal masyarakat berkaitan erat dengan bergesernya orientasi masyarakat terhadap nilai air dan sumber daya alam, yaitu dari dimensi sosial ke dimensi ekonomi. Air yang semula dimanfaatkan secara 'gratis' tanpa adanya kompensasi, ternyata mempunyai nilai ekonomi dan nilai ini semakin tinggi dari waktu ke waktu.

Komersialisasi terhadap air tumbuh dan berkembang seiring dengan semakin banyaknya volume air yang dibutuhkan masyarakat dan bervariasinya jenis kebutuhan terhadap sumber daya tersebut. Kondisi ini terutama terjadi karena sumber daya air semakin terbatas dan sebaliknya kebutuhan akan air semakin tinggi. Selain itu, nilainya akan semakin tinggi dengan meningkatnya kegiatan pembangunan dan investasi di kawasan sumber air tersebut.

Memudarnya kearifan lokal sangat disayangkan karena dalam pengelolaan air, kearifan lokal mengandung nilai pelestarian sumber daya. Masyarakat memahami bagaimana seharusnya mengatur keseimbangan dalam pemanfaatan dan pelestarian sumber daya air melalui larangan.

Larangan-larangan yang disepakati dalam kearifan lokal sangat erat kaitannya dengan upaya menjaga telaga agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan terjaga kelestarian ekosistemnya. Namun banyak larangan yang sudah tidak dipatuhi lagi oleh masyarakat setempat Padahal, keberadaan pohon-pohon besar seperti beringin dan asem, misalnya, mempunyai peran penting dalam menyerap air dan melindungi sumber air di telaga. Mengambil air pada malam hari berkaitan dengan upaya menjaga ketersediaan air dan keselamatan dalam pengambilan air.

Larangan memancing ikan sebelum waktu panen sangat penting untuk memberi kesempatan ikan di telaga untuk tumbuh dan berkembang agar dapat dimanfaatkan (produksi) secara berkelanjutan.  Sedangkan larangan pembuangan sampah sarat dengan makna menjaga telaga atau sungai dari pencemaran, yang menjadi salah satu masalah penting dalam pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan. Pentingnya budaya bersih dalam kearifan lokal di beberapa daerah sangat ditekankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun