Dijual Sebagai Surga, Dibiarkan Tanpa Perlindungan
Taman Nasional Komodo (TNK) sering muncul di brosur mewah, unggahan media sosial influencer, bahkan masuk daftar "destinasi impian" dari majalah internasional. Pulau-pulau eksotis, laut biru jernih, satwa purba bernama Komodo-semuanya terlihat sempurna. Tapi tunggu dulu. Di balik estetika itu, ada satu hal besar yang selama ini diabaikan: risiko.
Dari kerusakan ekosistem laut, ledakan wisatawan, pembangunan liar, konflik lahan, sampai perubahan iklim. Semua itu nyata, tapi sayangnya belum dihadapi dengan sistem manajemen risiko yang solid. Padahal, ini bukan tempat biasa. Ini satu-satunya habitat Komodo di dunia. Sekali rusak, tidak bisa diciptakan kembali.
Risiko di TNK Bukan Teori, Tapi Realita
Beberapa risiko utama yang mengintai TNK antara lain:
Overtourism: Sebelum pandemi, lebih dari 220 ribu orang datang ke kawasan ini tiap tahun. Angka yang tinggi untuk daerah yang kapasitasnya terbatas. Overcrowding mengganggu perilaku satwa, merusak jalur trekking, dan mencemari laut.
Pembangunan masif tanpa kontrol: Proyek "jurassic tourism" yang membangun infrastruktur besar-besaran di Pulau Rinca pernah menuai kritik luas. Alat berat hilir mudik di habitat satwa liar. Bukannya menjaga alam, malah merusak.
Perburuan liar dan penangkapan ikan destruktif: Masih terjadi, terutama di perairan sekitar desa nelayan. Bom ikan, racun, dan penangkapan ilegal mengancam ekosistem laut dan rantai makanan Komodo.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!