Surabaya bukan sekadar kota besar. Ia adalah simbol perlawanan, pusat perdagangan, dan jantung dari dinamika sosial-budaya Jawa Timur. Dalam dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi, peningkatan infrastruktur, dan semangat kolektif warganya telah menjadikan Surabaya sebagai kota metropolitan yang dihormati di tingkat nasional. Namun di balik geliat pembangunan itu, Surabaya menghadapi tantangan serius yang akan menentukan apakah ia benar-benar bisa menjadi kota yang layak huni, tangguh, dan inklusif di masa depan.
Jika saya diberikan amanah menjadi Wali Kota Surabaya, maka fokus utama saya selama sepuluh tahun pertama kepemimpinan akan diarahkan pada satu hal mendasar: menjadikan Surabaya sebagai kota tangguh terhadap perubahan, manusiawi bagi semua golongan, dan berkelanjutan secara lingkungan. Visi ini bukan sekadar slogan, tetapi tuntutan zaman yang harus dijawab melalui kerja sistemik, terukur, dan berbasis pada partisipasi masyarakat.
Tantangan Nyata di Balik Pertumbuhan
Surabaya telah berkembang dengan sangat cepat. Namun, seperti banyak kota besar lainnya, percepatan itu membawa masalah-masalah serius yang tidak bisa ditangani dengan pendekatan biasa. Kemacetan menjadi pemandangan sehari-hari, terutama di jam-jam sibuk. Masyarakat beralih ke kendaraan pribadi karena belum adanya transportasi publik yang terintegrasi, nyaman, dan efisien. Di sisi lain, pembangunan yang masif juga telah mengorbankan ruang terbuka hijau. Kota ini semakin panas, dan titik-titik rawan banjir mulai bermunculan karena menurunnya daya serap tanah.
Krisis air bersih dan sanitasi masih menjadi momok, terutama di kawasan pinggiran. Ketimpangan sosial kian terasa antara pusat kota yang modern dengan kampung-kampung padat yang hidup dalam keterbatasan. Perumahan murah sulit dijangkau oleh warga berpenghasilan rendah karena harga tanah yang terus melonjak. Bahkan UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi rakyat masih bergelut dengan minimnya akses modal, pasar, dan pendampingan.
Semua ini menunjukkan bahwa Surabaya bukan hanya butuh pembangunan fisik, tetapi butuh transformasi menyeluruh yang menempatkan warganya sebagai subjek utama pembangunan, bukan sekadar penonton dari deretan proyek mercusuar.
Prioritas Strategis: Lima Pilar Kota Masa Depan
Dalam menyusun strategi 10 tahun, saya menetapkan lima prioritas utama:
1. Transportasi dan Mobilitas Berkelanjutan
Kemacetan bukan hanya soal jumlah kendaraan, tetapi soal ketidakterhubungan moda transportasi dan minimnya insentif untuk beralih ke transportasi umum. Oleh karena itu, saya akan mendorong pembangunan sistem transportasi massal terintegrasi seperti trem listrik, BRT (Bus Rapid Transit), dan jalur sepeda. Setiap moda akan terhubung dengan sistem tiket tunggal yang mudah dan murah. Pusat kota akan diarahkan menjadi zona rendah emisi, dengan pembatasan kendaraan pribadi melalui sistem Electronic Road Pricing (ERP) dan parkir mahal.
2. Ketahanan Iklim dan Lingkungan Hidup
Surabaya harus menjadi kota yang tahan terhadap perubahan iklim. Revitalisasi total drainase kota, pembangunan kolam retensi, dan wajib sumur resapan di tiap RW akan diterapkan. Di sisi lain, ruang terbuka hijau akan diperluas, dengan target minimal 30% dari luas kota. Setiap pembangunan gedung baru akan dikenai kewajiban membangun “green roof” atau taman vertikal. Kampanye daur ulang dan pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular akan dijadikan gerakan kolektif warga.
3. Perumahan Terjangkau dan Penataan Permukiman
Saya percaya bahwa rumah bukan hanya tempat tinggal, tetapi hak dasar warga kota. Maka, program 100.000 rumah terjangkau dalam 10 tahun akan menjadi prioritas, terutama di wilayah strategis yang dekat dengan akses transportasi dan pekerjaan. Kampung-kampung kota yang terlanjur padat tidak akan digusur, melainkan akan ditata ulang melalui pendekatan urban upgrading: memperbaiki jalan lingkungan, sanitasi, dan fasilitas publik, tanpa memindahkan warganya.