Mohon tunggu...
Nabilla DP
Nabilla DP Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger

Ibu dua anak yang doyan bepergian. Ngeblog di bundabiya.com dan bundatraveler.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menguatkan Pendidikan dan Memajukan Kebudayaan dengan "Strategi 5M"

20 April 2018   17:10 Diperbarui: 15 Agustus 2018   20:32 3306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: freepik

Pendidikan di Indonesia semakin mampu beradaptasi terhadap perubahan global. Pencapaian ini tidak lepas dari keterlibatan dan kerja keras para pemangku kepentingan serta berbagai elemen yang terlibat dalam mendidik generasi muda Indonesia. Hal ini mengingatkan penulis pada pepatah Afrika, "it takes a village to raise a child", yang memiliki makna bahwa butuh partisipasi dari banyak pihak untuk mendukung tumbuh kembang anak secara optimal.

Sinergi Pendidikan dengan Kearifan Lokal

Salah satu kemajuan ini terlihat pada materi yang disampaikan oleh Mendikbud, Muhadjir Effendy, dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2018 (RNPK 2018). Beliau menyampaikan bahwa ada 3 komponen yang saling bersinergi dalam mencetak generasi masa depan yang berkarakter, yakni sekolah, keluarga, dan masyarakat (Tri Pusat Pendidikan). Materi yang disampaikan Mendikbud ini merupakan sebuah pengamalan kearifan lokal dalam dunia pendidikan. 

Gagasan Tri Pusat Pendidikan adalah konsep yang "sangat Indonesia", yang dipopulerkan pertama kali oleh Ki Hadjar Dewantara. Kini, metode ini pun ramai digunakan oleh negara maju dalam mendidik generasi mudanya. Hal ini menjadi bukti bahwa kearifan lokal Indonesia sangat kaya, bernilai, serta berdaya saing.

SUMBER: KEMDIKBUD 2016
SUMBER: KEMDIKBUD 2016
Lebih lanjut, RNPK 2018 dengan tema "Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayan" ini menghasilkan 22 rekomendasi dari 5 isu strategis yang sebagian besar menitikberatkan pada peran pemerintah pusat dan daerah. Tema RNPK kali ini memang menjadi pekerjaan rumah yang harus dipikirkan bersama. 

Arus globalisasi, meski membawa sejumlah manfaat, juga mendatangkan dampak negatif khususnya bagi anak-anak yang lahir dan tumbuh di era digital. Apabila tidak ada upaya menyeluruh untuk mengenalkan anak didik kita pada budaya Indonesia yang kaya, jangan kaget jika di masa depan anak-anak muda kita lebih akrab dengan budaya negara lain seperti budaya dari Korea, India, dan budaya barat lainnya. Sebab, mereka belum mendapatkan proses serta pengalaman yang optimal mengenai budaya negaranya.

Peran Aktif Sekolah dan Guru

Upaya ini harus kita sambut dengan tangan terbuka serta kontribusi nyata. Keaktifan sekolah dan guru menjadi kunci, mengingat Indonesia kini sedang giat menerapkan konsep pembelajaran dengan metode Student Centered Education (SCE) yaitu pendidikan berpusat pada anak (materi RNPK 2018 Mendikbud). Metode ini memungkinkan sekolah menjadi wadah dalam membantu siswa untuk mengembangkan dirinya. SCE ini cukup populer di luar negeri dengan istilah yang tidak jauh beda, yaitu Student-centered Learning(SCL).

SCL merupakan pendekatan yang menstimulasi siswa untuk berperan aktif dalam konten dan aktivitas pembelajaran. Siswa menjadi pusat dari proses belajar, dimana seorang guru memiliki peran sentral dan memberikan peluang bagi siswa untuk diskusi, memberi pengalaman belajar yang menarik, serta memberikan studi kasus yang memacu siswa untuk berpikir kritis dan memecahkan masalah. Pendekatan ini dinilai cukup efektif dalam mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan pada zamannya (Collins & O'Brien, 2003 dalam Froyd & Simpson, 2010).

Dengan demikian, jelas bahwa SCL atau SCE membutuhkan guru dengan kompetensi memadai agar mampu mendorong serta memungkinkan siswa untuk mengambil keputusan, percaya pada kapasitas mereka untuk memimpin, dan mendapatkan pengalaman belajar yang baik. 

Beruntung kini banyak sekali pelatihan yang diadakan untuk para guru PAUD hingga SMA. Perihal ini juga sering disampaikan oleh Mendikbud dalam berbagai acara, salah satunya adalah ketika Mendikbud menghadiri acara di Pesantren Nurul Haromain Pujon, Kabupaten Malang tanggal 14 April 2018 lalu. Saat itu, kebetulan penulis hadir dan menggarisbawahi materi dari Mendikbud, "Kurikulum yang sebenarnya adalah guru. Sebagus apapun kurikulum teks yang ada, jika guru tidak bisa menerjemahkan dengan baik, hasilnya tidak akan maksimal."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun