Mohon tunggu...
nala
nala Mohon Tunggu... mahasiswa

hi aku nala dari universitas mulawarman, jurusan Hubungan Internasional angkatan 2025

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Gemerlap Kota, Bayang Prostitusi: Samarinda di Persimpangan Pembangunan

1 Oktober 2025   19:24 Diperbarui: 1 Oktober 2025   19:24 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halo Lokal. Sumber ilustrasi: PEXELS/Ahmad Syahrir

Gemerlap Kota, Bayang Prostitusi: Samarinda di Persimpangan Pembangunan

Samarinda, 29 September 2025 - Samarinda, kota yang tengah bertransformasi menjadi penyangga Ibu Kota Negara (IKN), kini berkilau dengan wajah pembangunan. Jalan - jalan diperlebar, pasar ditata ulang, dan pusat perbelanjaan dipoles dengan nuansa modern. Namun, di balik gemerlap lampu kota dan narasi kemajuan, Samarinda menyimpan sisi gelap yang kian sulit disangkal: prostitusi. Dari bekas lokalisasi Loa Hui hingga kawasan strategis seperti Citra Niaga, praktik prostitusi terselubung, prostitusi online, hingga eksploitasi anak masih marak. Fenomena ini bukan sekadar soal moralitas, melainkan juga refleksi nyata ketimpangan ekonomi dan lemahnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan sosial.

 Kasus terbaru di eks-lokalisasi Loa Hui menjadi potret jelas kegagalan kebijakan penutupan lokalisasi. Prokal (2024) melaporkan penemuan seorang perempuan yang tewas di sebuah wisma kawasan eks-THM. Padahal, Lurah Harapan Baru, M. Iqbal, menegaskan, "Sosialisasi telah selesai, dan kami menegaskan bahwa praktik prostitusi dan miras tidak diperbolehkan di sini." Pernyataan itu terasa kontras dengan realita di lapangan: prostitusi tetap berlangsung, hanya saja lebih terselubung. Ini membuktikan bahwa penutupan lokalisasi tanpa program alternatif hanyalah solusi kosmetik yang tak menyentuh akar persoalan.

 Perubahan pola prostitusi juga tak bisa dilepaskan dari hadirnya teknologi. Investigasi Klik Samarinda mengungkap jaringan prostitusi online yang beroperasi rapi melalui aplikasi pesan singkat. Transaksi berlangsung cepat, terstruktur, dan sulit dideteksi. Sandi sederhana seperti "Naik ke lantai 6 kamar 601" atau "Oke deal, kak" menggambarkan betapa rapinya jaringan ini bekerja. Aparat hanya bisa menyisir ruang publik, sementara praktik berpindah ke ruang digital yang sulit disentuh razia konvensional.

 Namun di balik itu semua, faktor ekonomi menjadi alasan paling nyata dan menyayat. Laporan Seputar Fakta (2024) mengangkat kisah seorang gadis berusia 18 tahun di Samarinda yang nekat menjadi PSK demi memenuhi kebutuhan sehari - hari. Ia mengaku kehilangan orang tua sejak SMP, sementara biaya hidup terus menekan. "Saya tidak punya pilihan lain, pekerjaan tetap sulit, sementara saya harus menyambung hidup," ungkapnya. Kisah ini bukan kasus tunggal, melainkan cermin dari kondisi banyak perempuan muda yang terjebak dalam lingkaran prostitusi karena minimnya akses pendidikan dan lapangan kerja yang layak.

 Jika ditelusuri lebih jauh, prostitusi bukan sekadar soal pilihan personal, tetapi hasil dari sistem yang gagal menyediakan jaring pengaman sosial. Di kota yang terus menata wajah fisiknya, pembangunan sosial justru tertinggal. Banyak perempuan muda dari keluarga miskin atau korban perceraian akhirnya menjadikan prostitusi sebagai "jalan pintas" untuk bertahan hidup. Ketika pasar kerja formal tak ramah dan pemerintah abai dalam memberikan akses usaha kecil, prostitusi tampil sebagai opsi pragmatis, meski penuh risiko dan stigma.

 Di tingkat politik, sebenarnya sudah ada kesadaran. Anggota Komisi IV DPRD Samarinda, Damayanti, menyebut dirinya "sangat miris dengan maraknya prostitusi online, apalagi info terakhir melibatkan anak - anak." Ketua Komisi IV, Sri Puji Astuti, juga menekankan, "Kalau memang ada anak di bawah umur, tentu perlu penanganan serius." Sementara Joni Sinatra Ginting dari Komisi I menegaskan, "Kalau persoalan ini berlarut, Perda bisa jadi salah satu opsi." Kutipan - kutipan ini menunjukkan masalah prostitusi telah masuk radar politik lokal, tetapi langkah nyata masih jauh dari harapan. Regulasi jelas belum cukup jika tidak dibarengi program ekonomi dan sosial yang berkelanjutan.

 Fenomena prostitusi di Samarinda juga mengandung kontradiksi. Kota ini ingin tampil modern, bahkan bersanding dengan narasi pembangunan IKN, namun masih membiarkan eksploitasi perempuan dan anak tumbuh subur. Prostitusi bukan hanya mencoreng moralitas, tetapi juga membawa dampak kesehatan (penyakit menular seksual), kriminalitas, hingga keretakan sosial. Di balik gedung - gedung baru, Samarinda masih menyimpan luka sosial yang belum sembuh.

 Fenomena prostitusi di Samarinda tidak bisa dipandang sebagai masalah individu semata, melainkan krisis struktural yang berakar pada ekonomi, sosial, dan lemahnya regulasi. Menutup lokalisasi tanpa menyiapkan alternatif ekonomi hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya. Pemerintah harus berani melangkah lebih jauh: memperkuat pengawasan di ruang digital, memberantas jaringan muncikari, sekaligus membuka akses pelatihan kerja dan modal usaha bagi kelompok rentan. Tanpa keberanian ini, pembangunan Samarinda hanya akan tampak indah di luar, tetapi rapuh di dalam. Jika kota ini benar - benar ingin menyandang identitas sebagai penyangga IKN modern, maka ia harus memutus rantai prostitusi dengan pembangunan sosial yang lebih manusiawi. Saatnya pembangunan tidak hanya bicara gedung dan jalan, tetapi juga tentang martabat manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun