Mohon tunggu...
Nabilah Dzikriya Rahman
Nabilah Dzikriya Rahman Mohon Tunggu... Dokter - Co-assistant

menulis untuk berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keajaiban Birrul Walidain, al-Qur'an, dan Keyakinan

2 September 2019   15:42 Diperbarui: 23 September 2020   12:13 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sedari kecil saya sangat senang membaca sebuah cerita. Bahkan mimpi saya yang tidak pernah berubah sejak saya kecil sampai sekarang adalah menjadi novelis, atau minimal mendapat predikat sebagai seorang penulis. Pun ketika saya di bangku MA dan masuk jurusan IPA, saya sempat berpikir untuk banting setir, pindah jurusan bahasa/sastra saat kuliah nanti. Namun saya mencoba untuk bersikap bijak dengan meminta pendapat kakak ketiga saya. Terus terang saya orang yang cenderung pesimis dengan kemampuan diri. Kepada kakak saya tersebut, saya katakan bahwa saya ingin kuliah di jurusan Sastra ataupun Agama, karena di kedua bidang tersebutlah nilai saya selalu maksimal dan stabil. Tetapi kakak saya menyarankan untuk terus menekuni bidang sains. Ia juga menyarankan saya untuk berdiskusi dengan Ayah kami. Jangan Tanya bagaimana respon Ayah saya. Beliau jelas sangat menyetujui saran kakak saya untuk menekuni Bidang sains, dikarenakan yang mendalami bidang sains di keluarga saya sangatlah jarang. Dan disinilah dilema mulai menghampiri.

Saya berpikir keras saat itu. Kembali saya katakan bahwa saya adalah orang yang cenderung tidak percaya diri. Terlebih saat itu nilai rapor pun membutakan saya untuk melihat potensi diri. Yang saya rasakan saat itu adalah saya mampu masuk jurusan IPA namun saya merasa tidak maksimal di bidang tersebut. Meskipun 3 tahun berturut-turut di bangku MA saya menempati ranking 3 besar (bahkan saya pernah masuk 3 besar paralel), namun nilai mata ajar IPA saya jarang sekali melampui nilai mata ajar bahasa dan agama saya yang keduanya selalu mendapatkan nilai diatas 9. Sehingga dari konsiderasi tersebut, saya berpikir akan lebih baik jika saya menekuni bidang yang dapat saya kuasai secara maksimal.

Namun jika memang benar harus menekuni bidang sains, maka satu-satunya bidang sains yang menjadi list of choice saya dan saya sukai adalah kesehatan. Sejak saat itu, cita-cita profesi saya di bidang sains terus berubah. Sampai akhirnya di tahun terakhir MA, saya mulai memantapkan hati untuk memilih FK, FKG, dan Gizi. Untuk mematenkan ketiga opsi tersebut (karena penentuan jurusan kuliah adalah awal dari penentuan profesi kelak), tentu pertama-tama saya harus meminta restu dari keluarga saya, dan yang paling wajib tidak boleh terlewat adalah restu Ibu. Ketika saya mengatakan ini kepada beliau, beliau menolak. Benar-benar menolak dalam arti sesungguhnya. Seperti tidak ada harapan lagi bukan?

Penolakan tersebut didasari kondisi finansial kami. Tentu banyak pertimbangan lain, namun finansial adalah yang pokok. Bayangan kami saat itu, biaya sekolah kedokteran sangatlah mahal hingga mencapai ratusan juta untuk per tahunnya. Namun saya tidak patah semangat untuk membujuk ibu saya dan memohon restunya. Saya mencoba untuk berbicara baik-baik. Saya katakan kepada beliau saya akan berusaha membantu meringankan beban biaya kuliah baik itu dengan beasiswa, menyambi kerja, maupun berprestasi.

Tidak lupa saya katakan pada beliau, bahwa yang terpenting dari semua ini adalah ridho dan restu orang tua, sehingga ketika saya telah berusaha maksimal namun tetap tidak berbuah baik maka saya akan mengalah dan mendalami bidang yang telah Ibu saya pilihkan. Akhirnya, beliau luluh dan meridhoi cita-cita saya sehingga ketika saya berproses mewujudkan cita-cita, berkah serta do'a ibu saya menyertai langkah saya di dalamnya. Itulah tujuan dan tekad saya dari awal, yang pertama-tama harus saya raih sebelum bergulat dengan perjuangan sendiri, ridho Ibu. Ridho orang tua. Maka Allah pun akan turut meridhoi, insya Allah.. Semua saya lakukan dengan berbicara baik-baik, tentu disamping saya merupakan seorang anak, posisi saya disini juga sebagai pemohon, pemohon restu orang tua.

Namun apa yang saya sampaikan ke Ibu saya masih merupakan rencana mentah yang tingkat keberhasilannya hanya seperkian persen. Ibu saya tidak ingin merugi sehingga beliau mengajukan dua persyaratan untuk saya. Pertama, Jika ingin kuliah saya harus mengkhatamkan hafalan al-Qur'an saya sampai 30 juz sebelum lulus MA. Kedua, saya harus kuliah di Jakarta sambil menemani kedua orang tua saya di rumah, dikarenakan sudah 12 tahun saya merantau di pesantren. Saya tidak mungkin menunda kuliah, karena jika sudah menunda sekolah, biasanya, perempuan akan merasa sangat sungkan untuk memulainya kembali. Sehingga mau tidak mau saya harus memenuhi kedua persyaratan tersebut.

Dan saya ingat sekali, pada tanggal 2 April 2016, tiga hari menjelang UN, Alhamdulillah hafalan al-Qur'an saya selesai di juz ke-30 surat an-Naas. Sampai saat ini, saya masih dapat merasakan getar bahagia dan tangis haru saya hari itu. Hari itu merupakan salah satu hari terbaik saya. Namun saat ini saya masih dalam tahap melancarkan hafalan, sehingga saya belum menjadi peserta Khatimat bil-Ghoib 30 Juz (peserta wisuda Hafalan 30 Juz), mohon do'anya agar disegerakan nggih, para pembaca budiman..

Lalu, untuk persyaratan kedua sejujurnya rencana saya adalah melanjutkan kuliah di Yogyakarta sambil tetap nyantri. Karena terus terang saya sangat resah membayangkan sekolah di luar pesantren, terlebih di Ibu Kota yang sudah terkenal dengan kehidupannya yang sangat keras. Saya benar-benar sulit membayangkan bagaimana saya yang 12 tahun sekolah di pesantren mulai dari tingkat SD sampai SMA harus melangkah keluar dari zona nyaman saat itu, untuk sekolah di luar pesantren dan langsung terjun di dunia perkuliahan. Bukan main sulitnya. Itu baru sulit untuk dibayangkan, belum lagi realitanya.

Sampai saat ini saya sudah melaluinya pun saya benar-benar tidak menyangka saya dapat melewatinya. Karena fase tersebut benar-benar suatu guncangan besar untuk saya. Bagaimana saya harus beradaptasi secara keseluruhan selalu menjadi pertanyaan di kepala saya tiap harinya. Bahkan awalnya saya tidak dapat menggunakan aplikasi line karena selama di pesantren santri tidak diperbolehkan membawa dan menggunakan HP. Sehingga seringkali saya tertinggal informasi dan lain sebagainya. Disitulah titik terendah dan juga titik balik saya. Saya tidak tahu apakah akan cukup jika hal tersebut harus diceritakan dalam tulisan yang sudah berlembar-lembar ini? Mungkin lain waktu... Tetapi yang pasti di tahap tersebut peran al-Qur'an, keyakinan, dan Birrul Walidain juga bermain di dalamnya.

Kembali ke persyaratan kedua, hanya sedikit Perguruan Tinggi yang saya ketahui di Jakarta, UI dan UIN Syarif Hidayatullah. Dibanding mencari tahu kampus yang tidak saya ketahui, lebih baik saya mendalami informasi dari kedua kampus tersebut. Lagi-lagi saya berpikir seperti itu. Saya pun akhirnya mendaftar di kedua Perguruan Tinggi tersebut. Bicara strategi, saya hanya mengandalkan SNMPTN, SBMPTN, dan beasiswa santri/tahfidz yang hanya tersedia di beberapa perguruan tinggi, dan UI tidak termasuk yang bekerjasama dengan kedua beasiswa tersebut.

Kebetulan karena UIN kampus Islam dan di tahun 2016 FK UIN belum terlibat di SNMPTN (harus mendaftar ujian mandiri jika ingin masuk FK UIN saat itu) sehingga saya hanya dapat mengandalkan SPAN-PTKIN untuk masuk UIN. Jurusan yang tersedia di SPAN-PTKIN hanya jurusan keagamaan dan saya memilih Tafsir Hadits. Karena saya sudah memantapkan hati untuk mendalami bidang kesehatan, jadi nilai-nilai yang saya input ke dalam sistem SPAN-PTKIN 75 semua di mata ajar yang menjadi persyaratan, padahal sebenarnya hampir semua mata ajar tersebut bernilai di atas 9, bahkan ada yang mendekati nilai sempurna, 99.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun