Dalam lanskap masyarakat modern yang semakin plural dan terhubung, saya melihat perkawinan beda agama bukan lagi sekadar anomali, melainkan sebuah realitas sosial yang kian menjadi sorotan. Isu ini selalu memicu perdebatan sengit, bukan hanya di ruang-ruang diskusi keagamaan, tetapi juga di meja-meja peradilan dan forum hak asasi manusia. Mengapa demikian? Karena pada intinya, perkawinan beda agama menyentuh tiga pilar fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia: norma fiqih Islam yang dipegang teguh mayoritas, bingkai hukum positif yang menjadi landasan bernegara, serta prinsip-prinsip universal hak asasi manusia yang menjunjung tinggi kebebasan individu.Sebagai seorang yang mendalami hukum, saya merasa penting untuk tidak hanya menyaksikan, tetapi juga mencoba membedah kompleksitas ini. Tujuan saya dalam artikel ini adalah untuk mengajak Anda menelusuri bagaimana fiqih, hukum negara, dan HAM itu saling berinteraksi, berkonflik, atau mungkin mencari titik harmonisasi dalam menyikapi ikatan perkawinan lintas iman. Mari kita hadapi isu ini dengan pemahaman yang komprehensif, jauh dari sekadar stigma, demi mencari kejelasan di tengah kerumitan.
PERSPEKTIF FIQIH DALAM PERKAWINAN BEDA AGAMA
Mengutip dari beberapa sumber yang didapat, saya menemukan bahwa kajian fiqih terhadap perkawinan beda agama selalu menempati posisi sentral dalam diskursus hukum keluarga Muslim. Mayoritas ulama klasik dari berbagai mazhab cenderung merumuskan sebuah ketetapan yang rigid, yaitu larangan mutlak terhadap jenis perkawinan ini, yang sering kali berujung pada penilaian bahwa ikatan semacam itu adalah tidak sah menurut syariat. Pemahaman ini, yang saya telaah, bersumber dari berbagai ayat Al-Qur'an dan Hadis yang secara implisit maupun eksplisit menggariskan pentingnya kesatuan akidah dalam mahligai rumah tangga. Tujuan utama syariat dalam pernikahan adalah mewujudkan sakinah, mawaddah, wa rahmah yang merupakan sebuah ketenangan jiwa dan kasih sayang yang sempurna, yang diyakini sulit terwujud apabila pondasi akidah pasangannya berbeda secara fundamental.
Dari analisis saya, terdapat dua konsep dalam perumusan hukum fiqih yaitu:
A. Kebolehan Terbatas: Pria Muslim dan Wanita Ahli Kitab
Saya mencermati bahwa satu-satunya pengecualian yang dibahas dalam fiqih adalah perkawinan seorang pria Muslim dengan wanita dari kalangan Ahli Kitab, yakni Yahudi atau Nasrani/Kristen. Pengecualian ini, seperti yang saya pahami, bersandar pada redaksi Surah Al-Ma'idah ayat 5 yang berbunyi, "Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu, apabila kamu telah membayar maskawin mereka..."
Namun, saya berpendapat bahwa kebolehan ini bukanlah sebuah lampu hijau tanpa syarat. Para fuqaha menetapkan kriteria ketat, seperti keharusan bahwa wanita tersebut benar-benar seorang Ahli Kitab sejati, bukan dari golongan yang murtad atau sekadar mengaku. Selain itu, saya juga melihat adanya kekhawatiran yang cukup beralasan di kalangan sebagian ulama, terutama di era modern ini. Mereka khawatir akan dampak negatif terhadap keimanan sang suami, proses pendidikan agama anak-anak, atau bahkan potensi melemahnya syiar Islam dalam lingkungan keluarga. Pandangan-pandangan seperti yang diungkapkan oleh Yusuf al-Qaradawi, misalnya, seringkali menganjurkan kehati-hatian, bahkan cenderung pada posisi makruh (tidak disukai) atau larangan, demi menghindari mafsadah (kerusakan) yang lebih besar akibat tantangan sosial kontemporer.
B. Larangan Tegas: Muslimah dan Pria Non-Muslim
Kontras dengan poin sebelumnya, saya menemukan bahwa ada konsensus yang hampir bulat di kalangan ulama: haram hukumnya bagi seorang wanita Muslimah untuk menikah dengan pria non-Muslim, entah itu Ahli Kitab maupun non-Ahli Kitab. Ketetapan ini berakar kuat pada nash, salah satunya Surah Al-Baqarah ayat 221 yang secara gamblang menyatakan: "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman..."
Saya menemukan beberapa illat (alasan hukum) yang substansial:
- Aspek Kepemimpinan (Qawamah): Dalam struktur keluarga Islam, suami adalah pemimpin yang berkewajiban melindungi dan membimbing istri, termasuk dalam urusan agama. Dikhawatirkan pria non-Muslim tidak dapat menjalankan peran ini, bahkan mungkin mengarahkan istri atau anak pada keyakinan lain.
- Integritas Akidah Keluarga: Saya berpendapat bahwa pernikahan adalah pondasi pembentukan generasi Muslim. Jika sang suami tidak seiman, ada kekhawatiran serius bahwa nilai-nilai Islam tidak akan tertanam kuat dalam keluarga, bahkan terancam luntur. Anak-anak berisiko besar tidak mendapatkan pendidikan agama yang konsisten.
- Penghormatan Syiar Agama: Pria non-Muslim tidak memiliki kewajiban untuk menghormati syiar-syiar Islam seperti shalat, puasa, atau haji. Ini dapat menciptakan lingkungan di mana syiar Islam tidak dihormati, atau bahkan dilecehkan, di dalam rumah tangga sang Muslimah.
Menurut saya, pandangan fiqih ini mencerminkan upaya sistematis untuk menjaga kemurnian akidah umat dan membentuk keluarga yang kokoh di atas landasan tauhid. Meskipun demikian, saya juga mengakui bahwa di tengah arus modernitas yang menghargai kebebasan individu dan kesetaraan gender, relevansi dan interpretasi larangan ini terus menjadi bahan diskusi yang tak kunjung usai.
MELIHAT REALITA DARI SISI IJTIHAD KONTEMPORER
Dalam menghadapi dinamika masyarakat yang terus bergerak, saya melihat bahwa pemikiran fiqih tidaklah statis. Konsep ijtihad kontemporer menjadi sangat relevan dalam upaya menjawab tantangan baru, termasuk isu perkawinan beda agama. Para ulama modern, melalui ijtihad mereka, tidak sekadar mengulang fatwa lama. Mereka justru berupaya menafsirkan ulang nash dengan mempertimbangkan konteks kekinian dan tujuan mulia di balik setiap syariat, atau yang dikenal sebagai maqashid syariah. Pendekatan ini, bagi saya, menunjukkan elastisitas hukum Islam yang disesuaikan dengan konteks permasalahan yang terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-hari.
Saya juga mengutip dari beberapa ahli seperti Yusuf al-Qaradawi, meskipun tetap hati-hati, mencoba membuka ruang diskusi validitas pernikahan pria Muslim dengan wanita Ahli Kitab. Argumennya seringkali berpegang pada esensi kemaslahatan dan pencegahan mafsadah, sejalan dengan prinsip mashlahah mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak memiliki dalil spesifik yang menunjang atau menolaknya, namun jelas membawa kebaikan. Misalnya, jika ketiadaan pernikahan akan menimbulkan kemaksiatan yang lebih besar, atau jika dalam konteks minoritas Muslim, pernikahan semacam itu dapat menjaga eksistensi komunitas.
Lebih jauh, saya juga melihat adanya pandangan minoritas yang lebih berani. Mereka berpendapat bahwa selama pernikahan beda agama tidak menimbulkan fitnah dan justru membawa kedamaian serta stabilitas bagi individu dan masyarakat, maka seharusnya ada ruang untuk validitasnya. Ini merupakan implementasi dari prinsip bahwa dalil syara' tidak bertentangan dengan tuntutan akal, karena hukum diturunkan untuk manusia yang berakal. Pemikiran tentang maqashid syariah, yang menekankan pada perlindungan agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal), menjadi kompas bagi ijtihad ini. Bagi saya, perdebatan ini adalah cerminan vitalitas pemikiran Islam yang terus beradaptasi dengan realitas kontemporer, mencari solusi di persimpangan tradisi dan modernitas.
PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM SUDUT PANDANG HUKUM POSITIF INDONESIA
Transisi dari ranah fiqih ke sistem hukum nasional selalu menyajikan tantangan interpretasi yang unik, dan isu perkawinan beda agama adalah contoh sempurna dari kompleksitas tersebut. Sebagai seorang mahasiswa hukum, saya mencermati bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) menjadi pijakan utama, yang mana Pasal 2 ayat (1) UUP menyatakan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Ini adalah formulasi yang sering diperdebatkan; bagi sebagian kalangan, kalimat ini seolah membuka pintu bagi pengakuan perkawinan beda agama, asalkan sah menurut hukum agama yang bersangkutan.
Namun, saya berpendapat bahwa pemahaman tersebut tidaklah lengkap tanpa melihat Pasal 2 ayat (2) UUP yang melanjutkan, "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Di sinilah persoalan muncul, khususnya bagi umat Muslim di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menjadi rujukan utama bagi hukum perkawinan Islam di Indonesia, secara tegas mengatur larangan perkawinan antara seorang Muslim/Muslimah dengan non-Muslim. Pasal 40 huruf c KHI menyatakan, "Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: adanya hubungan perkawinan dengan orang lain... atau dilarang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Kemudian, Pasal 44 KHI secara spesifik menguraikan, "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam." Ketegasan KHI ini secara efektif membuat Kantor Urusan Agama (KUA) tidak dapat mencatat perkawinan beda agama bagi umat Muslim.
Akibatnya, saya melihat banyak pasangan yang memilih jalan memutar untuk memperoleh legalitas. Beberapa opsi yang sering ditempuh meliputi:
- salah satu pihak berpindah agama sementara demi melangsungkan pernikahan, kemudian kembali ke agama semula
- melangsungkan pernikahan di luar negeri, di mana hukum negara tersebut mengakui perkawinan beda agama, lalu mendaftarkannya kembali di Indonesia melalui Kantor Catatan Sipil
- atau mengajukan permohonan penetapan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan pengesahan nikah.
Namun, saya berpandangan bahwa jalur-jalur ini seringkali rentan. Proses di Pengadilan Negeri, misalnya, meski terkadang berhasil, seringkali dianggap sebagai preseden kasus per kasus (kasuistis) dan belum membentuk yurisprudensi yang kuat dan konsisten. Kondisi ini, bagi saya, menciptakan ketidakpastian hukum yang signifikan bagi pasangan dan terutama bagi status anak-anak yang lahir dari ikatan tersebut.
PERKAWINAN BEDA AGAMA DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Memasukkan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dalam diskusi perkawinan beda agama sangat krusial, karena di sinilah seringkali terjadi tarik ulur antara norma agama, hukum negara, dan hak individu. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 16 ayat (1) secara jelas menyatakan bahwa "Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi oleh perbedaan ras, kebangsaan atau agama, berhak untuk kawin dan membentuk keluarga." Saya melihat ini sebagai pengakuan atas hak fundamental setiap individu untuk memilih pasangan hidupnya tanpa diskriminasi.
Bagi saya, larangan perkawinan beda agama dalam perspektif fiqih mayoritas dan implementasi hukum positif di Indonesia dapat dipandang sebagai pembatasan terhadap hak kebebasan beragama dan hak untuk menikah. Meskipun negara menjamin kebebasan beragama, pilihan untuk mengikat janji suci dengan pasangan berbeda keyakinan seringkali dihadapkan pada tembok birokrasi dan legalitas. Dilema ini menempatkan individu dalam posisi sulit: memilih antara menjalankan keyakinan agamanya secara ketat, mengikuti tuntutan hati, atau berhadapan dengan konsekuensi hukum dan sosial yang tidak ringan. Ini adalah isu yang menuntut keseimbangan antara kedaulatan hukum agama, kedaulatan hukum negara, dan penghormatan terhadap martabat serta kebebasan fundamental manusia. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa hak individu untuk membangun keluarga tidak terhambat oleh perbedaan keyakinan, tanpa mengorbankan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat? Dan ini menurut saya adalah pertanyaan kunci.