Mohon tunggu...
Nabila Azra
Nabila Azra Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

bismillah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keterbatasan Sarana dan Prasarana dalam Melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh

26 Juli 2021   20:28 Diperbarui: 26 Juli 2021   21:05 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Program Pelatihan (Dokpri)

PJJ atau Pembelajaran Jarak Jauh saat ini tengah dilakukan pemerintah sebagai salah satu upaya untuk meminimalisir penyebaran virus COVID-19 di Indonesia. Hal ini ditengarai oleh munculnya kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan saat ini dilakukan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang telah berlaku sejak 11 januari 2021. Tentu kebijakan tersebut akan berdampak kepada kegiatan umum diruang publik, salah satunya proses belajar mengajar menjadi dilakukan dirumah masing-masing dengan menggunakan gadget secara daring atau biasa kita sebut dengan pembelajaran online.

Menggunakan internet bukanlah hal yang asing di era serba teknologi saat ini. Namun sayangnya ketidakmerataan ekonomi pada masyarakat cukup menyulitkan siswa dengan adanya kebijakan PJJ. Pasalnya kegiatan PJJ mengharuskan siswa memiliki perangkat gadget  yang memadai untuk melakukan aktivitas  Video Conference, penerimaan materi, penyelesaian soal dengan media sosial dan aplikasi pendukung. Tetapi kemampuan ekonomi masyarakat yang minim tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan satu ini. Akibatnya kegiatan belajar mengajar menjadi begitu terbatas dan sangat tidak efektif  karena siswa dan orang tua hanya menggunakan media seadaanya, yaitu Hand Phone android yang mereka miliki dengan aplikasi whatsapp dan kuota internet terbatas.

Salah satunya terjadi di SDN Kotasari, Cilegon Banten, tenaga pengajar disana mengatakan kendala yang dialami siswa mereka adalah keterbatasan kuota internet dan tidak adanya perangkat memadai. Hanya sedikit dari mereka yang memiliki gadget atau teknologi untuk belajar di rumah. Fakta ini tentu sangat meresahkan tenaga pengajar. Karena kegiatan belajar mengajar seolah hanya formalitas belaka. Pembagian materi lalu setelah itu pengiriman tugas, tidak ada tatap muka virtual dan komunikasi jarak jauh yang diharapkan.

Dilansir dari detiknews, bapak Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan "Tentunya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) bisa digunakan sekolah untuk membeli smartphone, tablet, maupun laptop sehingga bisa dipinjamkan ke anak-anak,". Pada awalnya, akan digelontorkan dana sebesar 700 miliar untuk penyediaan leptop bagi sekolah yang menerapkan asesmen kompetensi online, namun COVID-19 menimbulkan kondisi tidak terduga sehingga pengalokasiannya diubah kepada pemberian pulsa dan bantuan sosial kepada tenaga pengajar yang dianggap sebagai prioritas saat ini. Lantas bagaimana seharusnya kita menanggapi hal ini?

Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang terkejut atau cukup kewalahan menangani sistem pembelajaran online. Jika diingat kembali, metode pembelajaran berbasis digital sudah mulai diterapkan dari beberapa tahun lalu. Namun saat ini bukan hanya metode dan teknis saja yang kita lakukan, tetapi juga sistem pembelajaran online yang semestinya sudah matang untuk akhirnya dapat diterapkan secara maksimal.


Oleh karena itu kita sebagai calon pengajar perlu memperhatikan hal-hal yang setidaknya mampu memaksimalkan dan menunjang pembelajaran online dengan baik, yaitu:

  • Diharapkan semua tenaga pengajar memiliki kompetensi untuk menggunakan teknologi dalam pengaplikasian pembelajaran jarak jauh. Hal ini mutlak dilakukan mengingat kompetensi guru dengan jumlah 3 juta jiwa di Indonesia masih belum merata, sehingga untuk memastikan hal tersebut perlu diadakan pelatihan dan sosialisasi mengenai pemanfaatan teknologi untuk saran mengajar.
  • Kompetensi minimal dalam bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi yang harus dikuasai oleh guru adalah level 2, yaitu termasuk kemampuan melakukan video conference dan membuat bahan ajar berbasis digital. Berdasarkan Teacher ICT Competencies Framework oleh UNESCO, Level 2 ini merupakan pengelompokan komptensi TIK guru yang ideal.
  • Level tertinggi yang bisa didapatkan adalah level 4, dimana guru mampu untuk dapat mengajari guru lainnya. Dengan memiliki kompetensi level 2, maka guru akan mampu menyiapkan sistem belajar, silabus dan metode pembelajaran dengan pola belajar digital atau online.

Oleh karenanya saya dan teman-teman kelompok berinisiatif untuk menjalankan program pelatihan pemanfaatan teknologi internet dan aplikasi dalam mengorganisir data administrasi serta pengemasan materi yang lebih menarik dan efektif bagi siswa untuk belajar walaupun hanya melalui media sosial whatsapp dan youtube. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi TIK guru minimal pada level 2. Dengan kemampuan tenaga pengajar yang baik dalam bidang teknologi serta pengalokasian dana BOS yang tepat, diharapkan pembelajaran berbasis digital dapat dilakukan bersama dengan sarana dan prasarana yang disediakan oleh sekolah juga dengan tenaga pengajar yang kompeten, sehingga pelaksanaan pembelajaran jarak jauh bisa dilaksanakan dengan lebih efektif.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun