Artikel yang berjudul 'dampak perceraian dan pemberdayaan keluarga studi kasus di kabupaten Wonogiri' ini mengkaji peningkatan angka perceraian di Wonogiri, Indonesia, di mana sekitar 8-9% pernikahan tahunan berakhir dengan perceraian. Artikel ini mengidentifikasi faktor-faktor utama yang berkontribusi terhadap tren ini, termasuk masalah ekonomi, perselingkuhan, dan kurangnya dukungan dari lembaga-lembaga seperti Kantor Urusan Agama (KUA). Studi ini menyoroti kurangnya pendanaan dan efektivitas program pemerintah yang ditujukan untuk kesejahteraan keluarga dan menyerukan lebih banyak perhatian terhadap implikasi sosial dari perceraian, dengan menekankan perlunya intervensi yang lebih baik untuk mendukung keluarga pasca-perceraian. Dalam artikel ini disebutkan beberapa alasan perceraian yaitu suami tidak bertanggung jawab, tidak adanya keharmonisan, gangguan pihak ketiga, krisis akhlak, krisis ekonomi perselisihan dan pertengkaran belum dikaruniai anak, meninggalkan kewajiban dan pernikahan pada usia muda. Perceraian sangat berdampak pada keluarga karena dapat menyebabkan banyak korban, termasuk anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Ketika perceraian terjadi, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pasangan yang bercerai, tetapi juga dapat mempengaruhi kualitas hidup anak dan menciptakan masalah sosial yang lebih luas, seperti kenakalan remaja dan meningkatnya tingkat kriminalitas. Misalnya, jika satu perceraian melibatkan 1.500 orang, maka jumlah korban bisa mencapai 4.500 jika ada anak yang terlibat, yang menunjukkan betapa luasnya pengaruh perceraian dalam masyarakat. Perceraian juga dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti suami yang tidak bertanggung jawab, tidak memberi nafkah, melakukan perselingkuhan, pernikahan pada usia muda, kurangnya optimalnya peran KUA dalam memberikan nasihat pernikahan dan kemudahan dalam proses pengajuan cerai di pengadilan termasuk layanan sidang keliling yang memudahkan masyarakat. Dalam artikel tersebut, terdapat beberapa solusi yang dapat diusulkan untuk mengatasi masalah perceraian. Pertama, mengoptimalkan peran KUA (Kantor Urusan Agama) melalui fungsi BP4 (Badan Penasihat Perkawinan dan Perceraian) dalam memberikan nasihat perkawinan. Hal ini penting karena banyak masyarakat yang datang ke BP4 sudah dalam kondisi kronis, sehingga penyelesaian masalah menjadi tidak maksimal. Kedua, dari aspek hukum, pengadilan diharapkan tidak memberikan kemudahan dalam pengajuan perkara perceraian, seperti dengan adanya sidang keliling yang terkesan menjemput bola. Asas pernikahan yang kekal selamanya dan perceraian yang dipersulit perlu ditegakkan untuk mengerem laju tingkat perceraian. Ketiga, kebijakan dan pelayanan pemerintah terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga, baik secara ekonomi maupun keagamaan, perlu digalakkan kembali. Pemberdayaan keluarga diharapkan dapat meningkatkan kualitas bangsa dan menekan angka perceraian.
Â
Nabila Aulia SyifaÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI