Kami keluarga yang beranggotakan dua anak tinggal di rumah dengan hidup berkecukupan, aman, tentram. Meskipun demikian, kita bisa dibilang benar-benar tak tahan untuk mau saling menatap satu sama lain, menyapa duluan atau bersikap lembut dan mengucapkan selamat tidur satu per satu. Tak pernah sekalipun hingga detik ini.Â
Tak manis seperti yang diharapkan. Bahkan aku, perempuan yang hampir menginjak kepala dua ini sering menangis karena overthinking setiap hari dan lebih memilih berdiam diri di kamar dengan pintu terkunci. Membungkam dan manjauhkan pikiran dari reaksi kemarahan dan emosi dari anggota keluarga lain yang tak mau positive thinking dahulu sebelum menyindir, menceramahi hingga aku menangis.Â
Berkutat dengan layar laptop dan menulis aspirasi sambil nangis tersedu-sedu menjadi hobi dari tokoh aku ini. Tak ada tujuan lain selain untuk menenangkan diri dari lingkungan baik tetapi tak pernah sefrekuensi. Ya, nyatanya memang begitu.
Setiap keluarga diciptakan sebagai ruang diskusi dua arah. Setiap keluarga selalu ada saat sedih maupun bahagia. Setiap keluarga selalu berhati-hati dalam bicara dan berprasangka dengan para anggota. Setiap keluarga adalah jalan terbaik untuk kembali dalam kebisingan dunia. Namun kalimat ketiga dalam alinea ini nyatanya tak pernah terjadi dalam hidupku.
Aku yang tak pernah mendapat kado kue ulang tahun, aku yang tak pernah mendapat juara saat lomba di SD hingga SMP, aku yang tak pernah dibanggakan-banggakan karena bakat yang menonjol, dan aku yang dulu harus diharuskan untuk menggunakan barang-barang bekas kakakku.Â
Tidak baru, dan sudah sedikit usang tergenggam olehku. Aku anak kedua sekaligus anak terakhir yang ditakdirkan menjadi anak pertama. Harus menjadi contoh, tidak boleh keliru, tidak boleh ceroboh, dan tidak boleh salah. Sementara itu, kakakku selalu merasakan sesuatu baru apapun itu dengan predikat pertama kali. Kedua kali, hanya untukku.
Ayahku pernah berkata ketika kakak pertamaku lahir, ayahku memikirkan bagaimana menyelamatkannya sebelum wajahnya pucat pasi diambang riwayatnya. Ketika kakak keduaku yang kini menjadi satu-satunya saudara kandungku, ayahku memikirkan bagaimana mengajarinya.Â
Ketika kakak ketigaku lahir, seorang bayi cantik yang juga dijemput Allah SWT, ayahku memikirkan bagaimana detak jantungnya bisa stabil. Dan ketika aku lahir, ayahku memikirkan bagaimana membesarkanku dan membentuk diriku menjadi orang baik. Ayahku tak langsung menjadi ayah. Begitupun ibu.
Terkadang kami berempat sangat sering berselisih paham tentang hal sepele, mendebatkan hal yang tak penting, dan tak mau saling belajar memahami hati kami masing-masing yang berbeda juga mudah rapuh. Terkadang keluarga yang paling tidak sadar dan memahami. Terkadang keluarga yang paling menjadi pemicu lingkungan buruk di masa depan. Akan tetapi, apa pentingnya mengetahui itu semua? Â Mereka juga selalu ada dan menerima.
Pada akhirnya yang membantu setiap masalah dan rintangan itu bukanlah otak, tetapi keluarga yang akan menggenggam tanganmu dan takkan melepasmu. Bukan tentang kuantitas pertemuan kami setiap detik yang membuat awet, tetapi tentang kualitas kita untuk saling memperbaiki.
Selalu bahagia!