aya selalu ingat sebuah ungkapan hebat tentang pentingnya bertanya. Katanya, Malu bertanya, sesat di jalan. Dari ungkapan ini saya menyadari hal baru tentang konsep hubungan antara satu makhluk dengan yang lainnya. Bahwa makhluk sosial yang bernama manusia, sehebat apapun, tetap membutuhkan orang lain. Maka, bertanya menjadi sebuah keniscayaan hidup. La budda!
Ada kisah inspiratif tentang pentingnya bertanya. Konon, teori gaya gravitasi bumi yang masyhur itu lahir dari sebuah pertanyaan sederhana seorang lelaki bernama Sir Isaac Newton. Alkisah, pada suatu siang yang terik, ketika sedang enak-enaknya ngaso di bawah pohon apel yang rindang, kepala Newton dijatuhi oleh buah apel yang ranum. Ia terkejut bukan main. Lalu timbul pertanyaan sederhana dalam pikirannya yang kemudian menyeruak, mengapa setiap benda jatuh itu selalu ke bawah?
Pada masa ke-khalifah-an Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq, ada kisah yang lebih menarik lagi, tentang seorang panglima besar Romawi, Jarojah. Ketika itu, terbersit di hatinya pertanyaan tentang kehebatan Sayyidina Khalid bin al-Walid yang selalu menang dalam segala medan perang. Juga tentang julukannya yang menggetarkan, si Pedang Allah. Bagaimana bisa?
Pertanyaan itu baru terjawab pada perang Yarmuk, ketika Jarojah menanyakan langsung pada al-Walid yang akhirnya mengantarkan Jarojah pada kebenaran Islam. Kabar baiknya, Jarojah mampu melaksanakan shalat dua rakaat yang kemudian syahid di perang Yarmuk.
Bagi kita, mungkin pertanyaan semacam itu klise dan tak bermutu, atau bahkan tak penting sama sekali. Tapi adakah kita berpikir bahwa berawal dari pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti itulah yang melahirkan hal-hal hebat. Maka, kadang dari pertanyaan tak penting bisa menjelma menjadi perubahan besar. Â Seperti kisah Sir Isaac Newton dan Jarojah tadi.
Kita harusnya bisa mengambil teladan dari kisah tadi. Bahwa kadang, di tengah hiruk-pikuk dunia ini, kita memang harus menyediakan waktu khusus untuk muhasabah diri. Kita mesti memberi kesempatan pada diri untuk mempertanyakan semua kinerja tubuh. Misalnya pertanyaan tentang kebaikan apa yang telah kita lakukan selama sehari, atau kemaslahatan apakah yang sudah kita sumbangkan pada hidup? Adakah kebaikan yang dominan, atau justru keburukan yang paling mewarnai aktifitas kita?
Memang, tak semua pertanyaan butuh jawaban, sebab ada kalanya pertanyaan itu hanya bersifat mengingatkan. Seperti yang bertebaran di dalam al-Quran. Banyak ayat-ayat di dalam al-Quran yang diakhiri oleh pertanyaan-pertanyaan, semisal; a falâ ta’qilûn, a falâ ta’lamûn, afalâ yatadabbarûna al-Qurân. Atau ayat-ayat yang memang bersifat pertanyaaan secara umum, semisal dalam surat al-Qari’ah.
Sekarang, silakan kasih ‘tanda tanya’ dalam diri Anda sendiri, kemaslahatan apakah yang sudah saya sumbangkan pada Sidogiri? Anda tak perlu repot-repot teriak untuk menjawabnya. Cukup dengan berbisik saja dalam hati; apa, ya!?