Setelah gaung swastanisasi Perguruan Tinggi (PT) Negeri melalui skema Badan Layanan Umum (BLU) dan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), kini masalah rebutan mahasiswa muncul lagi. BLU dan PTN BH yang mesti memutar otak untuk berjiwa enterpreneur mirip PT swasta berakhir menjual kursi pada mahasiswa dengan cara seleksi mandiri. Bergelombang SM untuk mencari dana pendidikan. Tak jarang ada korupsi di sini seperti terjadi di Lampung dan beberapa daerah. Kursi apalagi "kursi empuk dan basah" seperti kedokteran sering jadi rebutan dan sumber keuangan yang marketable. Dari sini, terjadi makan memakan sesama PT atau disebut kanibal.
Swasta yang biasa memanfaatkan keterbatasan kursi dan "buangan" PT Negeri (PTN) kini tersisa terbatas. PTN menyisakan "makanan" untuk swasta hanya sedikit padahal PT Swasta (PTS) begitu banyak dan terus dikeluarkan izin operasional PTS baru terutama berbau agama dan prodi yang laku. Sejumlah PTS ini kini harus bertempur memperebutkan sisa tadi dan tak jarang terjadi kanibalisasi antar swasta. Adu strategi menjadi pertunjukan vulgar di mana PTS harus mampu bertahan hidup dan tak boleh menyerah. Ada sejumlah dosen dan keluarganya yang harus dikasih makan. Apapun harus dilakukan.
Beberapa PTS melakukan revitalisasi manajemen. Kepatuhan dan ketaatan pada regulasi yang dibuat pemerintah melalui akreditasi dilaksanakan, tapi bukanlah satu-satunya jalan. Bagaimana pun manajemen diatur dengan alat ukur ala PTN tentulah takan bisa mengejar PTN yang berbahan bakar APBN. Tetap saja cara itu bukan solusi tunggal. Paling cerdas PTS melakukan distingsi dan mencari celah kekurangan PTN. Dari sinilah pengelola PTS berinovasi dan masuk gelanggang bertarung dengan PTN dengan ksatria. Berlomba gedung, nilai kearifan, jaringan, efisiensi dan SDM sering menjadi pertempuran maha baik bernada fastabiqul khairat. PTN yang relatif birokratis dan bergerbong panjang disikat dengan kecepatan dan ketepatan PTS yang ramping dan dinamis.
Namun banyak PTS sudah menyerah di awal laga. Mereka memanfaatkan lokus dan tempus sebagai keunggulan dibanding PTN. Membuka kelas jauh, perkuliahan asal lulus, ijazah diumbar, standar kuliah diakali, mahasiswa asal terdaftar, dosen tak jelas, bahkan akreditasi hasil rekayasa adalah beberapa strategi menghancurkfan reputasi PTS itu sendiri. Dengan begini banyak PTS di daerah harus kanibal sesama PTS. Perebutan mahasiswa sering jadi tidak fair dan terjadi kebohongan insan akademis yang sistematis. Jual izin operasional atas nama kerjasama sering menjadi strategi tak masuk akal. Bukan tak logis untuk bertahan hidup tapi tak jelas bagaimana lulusan nanti. Apakah PTS hanya jadi jongko validasi ijazah saja?
Dulu pernah ada aturan black list bagi PTS yang nakal. Izin mereka diancam dicabut dan reputasinya dijatuhkan. Namun sejak Covid dan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) jadi solusi maka membuka kelas jauh jadi marak kembali. Sejatinya sudah ada aturan bahwa PJJ harus ada izin menteri dan akreditasi Unggul, namun aturan tinggal aturan. Di daerah, kanibalisasi dengan alasan bertahan hidup menjadi proses yang mengerikan. Yang paling membagongkan, ada oknum pengelola atas nama negara menjadi backing dan mempertahankannya. Mungkin karena satu jaringan, satu gank atau ada cuan di sebaliknya sehingga praktik ini dibiarkan. Yang jadi bahaya bukan saja mahasiswa yang tak diurus dengan benar tapi kualitas SDM kita takan pernah maju walau gelar mereka sudah rimbil. Apa kita rela ada Doktor rasa Sarjana? Apa kita tak tersinggung ada Sarjana tapi rasa lulusan SMA? Jangan, lah! Ini mesti diperbaiki!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI