Mohon tunggu...
M Yusuf Alamudi
M Yusuf Alamudi Mohon Tunggu... Ilmuwan - orang biasa yg ingin berbagi ilmu

menulis untuk mencerahkan umat

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Puncak Musim Hujan Waspadai Leptospirosis

19 Maret 2018   11:17 Diperbarui: 19 Maret 2018   11:22 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), memperkirakan puncak musim hujan akan berlangsung mulai Februari hingga Maret. Diperkirakan pada waktu-waktu itu terjadi hujan ekstrem. Wilayah Indonesia mengalami puncak musim hujan di bulan Februari dan diperkirakan akan terus berlangsung pada bulan Maret dan akan masih mengalami kondisi hujan dan puncak musim hujan. Beberapa wilayah di Indonesia yang memasuki puncak musim hujan. Wilayah tersebut antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Jawa Timur, NTT, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Papua Barat, dan Papua.

Kondisi hujan ekstrem juga masih berpotensi terjadi di Jawa Tengah bagian utara dan beberapa wilayah di perairan di sebelah barat Sulawesi serta Jawa Timur di bagian timur dan utara. Selanjutnya, hujan disertai angin kencang dengan kecepatan di atas 20 tie juga berpotensi terjadi di wilayah lain di Indonesia. Daerah yang akan berpotensi dilanda angin kencang ini adalah Laut Cina Selatan, Laut Natuna, Riau, Kepulauan Riau, Laut Jawa, Laut Banda, Samudra Hindia selatan Jawa Tengah-NTB, dan Laut Arafuru.

Salah satu penyakit di musim hujan dan belum mendapat perhatian serius adalah Leptospirosis. Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan binatang.Selain itu, leptospirosis juga dikenal sebagai penyakit zoonosis yang sering terjadi di dunia. Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia yaitu daerah dengan kejadian luar biasa leptospirosis ataupun pada daerah yang memiliki faktor risiko tinggi terpapar leptospirosis seperti Indonesia, angka kejadian leptospirosis dapat mencapai lebih dari 100 for each 100.000 for each tahun. Case casualty rate (CFR) leptospirosis di beberapa bagian dunia termasuk Indonesia dilaporkan berkisar antara 5% - 30%.

Leptospirosis juga dikenal dengan nama surge fever atau demam banjir disebabkan muncul pada musim hujan dan daerah yang tergenang air atau banjir. Spirochaeta ini pertama kali diisolasi di Jepang oleh Inada setelah sebelumnya digambarkan oleh Adolf Weil tahun 1886. Weil menemukan bahwa penyakit ini menyerang manusia dengan gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal. Di Indonesia, gambaran klinis leptospirosis dilaporkan pertama kali oleh Van der Scheer di Jakarta pada tahun 1892, sedang isolasinya dilakukan oleh Vervoot pada tahun 1922. Hewan terpenting dalam penularan leptospirosis adalah jenis binatang pengerat, terutama tikus.

Bakteri leptospira khususnya spesies L. Ichterro haemorrhagiae banyak menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus) dan tikus rumah (Rattus diardii). Transmisi atau penularan bakteri leptospira ke manusia dapat terjadi karena ada kontak dengan air atau tanah yang tercemar urin hewan yang mengandung leptospira. Selain itu penularan bisa juga terjadi karena manusia mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan bakteri leptospira.

Beberapa faktor risiko yang memicu terjadinya penularan leptospirosis adalah pekerjaan yang melibatkan kontak tubuh dengan air, keberadaan sampah di dalam rumah, keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, kebiasaan tidak memakai oh kaki, kebiasaan mandi/cuci di sungai.  Leptospirosis dibagi menjadi ringan (non-ikterik) dan berat (ikterik). Leptospirosis ringan (non-ikterik) diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat.

Gejala leptospirosis timbul mendadak ditandai dengan viral-like disease, yaitu demam, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue (demam berdarah), disertai nyeri retro orbital dan fotofobia. Nyeri otot diduga terjadi karena adanya kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase (CPK) menjadi meningkat. Leptospirosis ringan (non-ikterik) dapat juga ditemukan nyeri perut, diare, anoreksia, limfadenopati, splenomegali, rash makulopapular, kelainan mata (uveitis, iridosiklitis), meningitis aseptik dan conjunctival suffusion. Gambaran klinik terpenting leptospirosis non-

ikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Selain yang diuraikan diatas, sebanyak 80-90% penderita leptospirosis anikterik akan mengalami pleositosis pada cairan serebrospinal selama minggu ke-2 penyakit dan separuhnya diantaranya akan menunjukkan tanda klinis meningitis. Karena penderita memperlihatkan penyakit yang bersifat bifasik atau memberikan riwayat paparan dengan hewan, meningitis tersebut kadang salah didiagnosis sebagai kelainan akibat infection.

Pasien dengan leptospirosis non-ikterik pada umumnya tidak berobat karena keluhan bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini bisa sembuh sendiri (self-restricted) dan biasanya gejala kliniknya menghilang dalam waktu 2 sampai 3 minggu. Gejala Leptospirosis berat atau yang dikenal dengan ikterik. Bentuk leptospirosis yang berat ini pada mulanya dikatakan sebagai Leptospira ichterohaemorrhagiae, tetapi ternyata dapat terlihat pada setiap serotipe leptospira yang lain. Manifestasi leptospirosis yang berat memiliki angka mortalitas sebesar 5-15%. Leptospirosis ikterik disebut juga dengan nama Sindrom Weil.

Tanda khas dari sindrom Weil yaitu jaundice atau ikterik, azotemia, gagal ginjal, serta perdarahan yang timbul dalam waktu 4-6 hari setelah beginning gejala dan dapat mengalami perburukan dalam minggu ke-2. Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak covering dengan fase leptospiremia. Pengendalian leptospirosis harus memperhatikan faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis kelamin, higiene perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat ada luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih, jenis pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus di dalam rumah dan lingkungan luar rumah. Salam kenali-cegah-obati-eradikasi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun