Saya suka sekali berdialektika sama orang yang mengerti apa itu artinya pembicaraan serius. Saking sukanya, kumpulan cerita pendek yg pernah saya buat berputar - putar pada metode ini. Namun, bukan dialektikanya orang Sofia, by the way. Eh eh, saya lagi akan membahas Soesilo Toer, adiknya Pramoedya Ananta Toer kok malah merembet ke Socrates? Haha.
Well, liburan semester lalu saya berkunjung ke perpustakaan yang dibangun Pak Soes - panggilan akrab Soesilo Toer - namanya Perpustakaan PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa)Â di Jalan Sumbawa No. 40, Blora, Jawa Tengah. Jarak yg lumayan dekat dari rumah saya yang ada di Jalan Raya Timur No 91, Tuban, Jawa Timur.
Pertama membuka gerbang yang terbuat dari kayu bertulis Jl Sumbawa 40, akan disambut oleh tanaman pacar yg rimbun dan tanaman lain yg dibiarkan tidak rapi, tidak dipangkas seperti seorang laki - laki yg lupa mencukur kumis lebatnya. Lalu ada dua ekor kambing hitam bertelinga lebar yang sedang bersantai di depan pintu rumah yang bercat kombinasi antara hijau, kuning dan putih. Awalnya, kukira kedua kambing tersebut adalah anjing penjaga. Tebakanku salah karena aku melihat disekitarnya ada bulat - bulat hitam seperti kismis. Pandanganku beralih ke pintu kaca, ada penampakan seorang wanita berdaster mengintip dari balik pintu. Seakan bertanya - tanya siapa tamunya yg akan datang ini.
Ya, itulah sekiranya penampilan halaman rumah masa kecilnya Pram. Siapa sih yg tidak kenal Pram? Maestro besar penulis Indonesia yang mempunyai sederet prestasi dari dalam maupun luar negeri karena karyanya yang spektakuler. Seperti Tetralogi Pulau Buru, Anak semua Bangsa, dll.
Pak Soes langsung menyambut dan menuntun kami untuk pergi ke belakang rumah, perpustakaan tsb berada. Saya sempat bingung sejenak, perpustkaannya Pram yg ada dipikiranku awalnya adalah seperti kebanyakan perpus lainnya. Saya salah besar, ini adalah perpustakaan pribadi yg hanya berukuran 4x5 meter yg dulunya adalah bekas dapur. Jadi wajar saja tempatnya di belakang rumah induk.
Saya disuruh mengisi daftar hadir. Kutulis nama pena dan tanda tanganku disana, Muzzayana Muhammad.
Pak Soes langsung berkata, "Wah ada keponakannya Goenawan Muhamad dateng, haha."
Suasana pun mencair. Saya dipersilahkan duduk di kursi plastik. Pengguruan dimulai, inilah alasan mengapa saya tidak bisa mengeluarkan dialektika pada Pak Soes. Berhadapan dengannya, saya seperti Kerdil di Balik Raksasa seakan bertanya, "Hei apa yg kau tahu tentang sejarah Indonesia? Ha?"
Dia bercerita, saya menyimak. Sedikit-dikit berkata, ya, heem dan sebangsanya. Tanpa bisa menyanggah!