Fenomena pernikahan dini di Indonesia tidak selalu terjadi karena "kecelakaan" atau kehamilan di luar nikah. Fakta di lapangan menunjukkan, semakin banyak remaja yang secara sadar memilih menikah muda, bahkan menganggapnya sebagai kebanggaan.
Di media sosial, tidak jarang kita temui kisah pasangan belia yang menikah dan merasa bangga karena sudah "mapan" di usia muda. Sebagian bahkan dengan sengaja menargetkan kehamilan cepat, tanpa memahami risiko kesehatan yang membayangi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2022) mencatat prevalensi perkawinan anak di Indonesia mencapai 10,82%, dengan mayoritas terjadi pada perempuan usia <19 tahun.Â
Di balik narasi sosial tersebut, terdapat persoalan serius dalam aspek kesehatan reproduksi. Kehamilan di usia remaja berkorelasi langsung dengan meningkatnya risiko stunting pada anak, sebuah kondisi gagal tumbuh yang berdampak jangka panjang terhadap kualitas generasi.
Kematangan Organ Reproduksi dan Risiko Kehamilan Dini
Secara fisiologis, organ reproduksi perempuan baru mencapai kematangan optimal pada usia 20--35 tahun. World Health Organization (WHO, 2018) menegaskan bahwa kehamilan pada usia <20 tahun memiliki risiko lebih tinggi terhadap komplikasi obstetri maupun outcome negatif pada bayi.
Beberapa mekanisme biologis yang menjelaskan hubungan ini antara lain:
Rahim yang belum matang secara struktural
Pada usia remaja, rahim dan panggul masih dalam tahap pertumbuhan. Kondisi ini membatasi kapasitas rahim untuk menunjang perkembangan janin secara optimal.Peningkatan kebutuhan gizi
Remaja hamil mengalami "kompetisi nutrisi" antara kebutuhan dirinya sendiri yang masih dalam fase tumbuh dengan kebutuhan janin. Hal ini meningkatkan risiko BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan prematuritas.- Keterbatasan suplai plasenta
Plasenta pada kehamilan usia belia sering kali kurang optimal dalam mendistribusikan oksigen dan nutrisi, sehingga berkontribusi pada terhambatnya pertumbuhan janin.
Stunting Tidak Hanya Soal Ekonomi
Stunting kerap dipahami sebagai masalah gizi dan kemiskinan. Padahal, faktor kesehatan ibu sebelum dan selama kehamilan juga sangat menentukan. Stunting bukan sekadar persoalan kurangnya akses makanan bergizi. Menurut UNICEF (2022), anak-anak yang lahir dari ibu usia <19 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami stunting, meskipun berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke atas.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2021)Â menyebutkan bahwa kehamilan usia remaja merupakan salah satu determinan penting penyumbang stunting di Indonesia. Faktor biologis (rahim belum matang), ditambah kesiapan psikososial yang rendah, memperbesar risiko anak mengalami hambatan tumbuh kembang.