Mohon tunggu...
Mustaqim Ode Musnal
Mustaqim Ode Musnal Mohon Tunggu... Buruh - Saya seorang yang sedang belajar

Aku hanya berdiri bebas pada simpang pikirku, simpang yang mengantarku tuk menggoreskan arah pikirku yang kadang tak terarah tetapi demi sesuatu yang terarah kurela bergelut dengan kelok itu.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Media "Partai", Kasus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Momentum Politik

11 Mei 2013   14:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:45 4087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1368265526264482399

[caption id="attachment_260463" align="aligncenter" width="620" caption="Maharani Suciyono (kiri) dan Ayu Azhari (kanan), dua di antara beberapa wanita di sekitar Fathanah. Fathanah dikenal sebagai teman dekat Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden PKS yang mundur setelah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus yang sama. /Admin (WARTA KOTA/ANGGA BN, KOMPAS.com/ICHA RASTIKA)"][/caption] Mengawali tulisan ini, maka rasanya penting untuk saya menjelaskan bahwa tulisan ini hadir bukan karena saya seorang simpatisan PKS apalagi Kader. Saya tak memilih siapapun ketika PEMILU yang lalu - lalu itu berlangsung, sebab sampai saat ini, AKU adalah GOLPUT SEJATI. Keyakinan kolotku mengatakan, tanpa aku memilih pun, negeri ini tetap akan berjalan sebagaimana yang sudah - sudah, seelok dan sesurga apapun para kandidat - kandidat itu menghadirkan rupa kata mereka agar di pilih. Dan fakta telah membuktikan itu, bagaimana perilaku pengelola negeri ini, tak juga beranjak dari buruk rupa Orde Baru, bahkan banyak orang memprediksi lebih buruk, walau reformasi telah bergulir 1, 5 dekade. Penjelasan di atas, menjadi penting, sebab apa yang saya sampaikan bersangkut paut dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang akhir - akhir ini, menjadi bulan - bulanan "sadisme" Media Massa. Oleh karena itu, mungkin saja ada subjektifitas tetapi substansi subjektifitas ini tetap dalam kerangka objektif sebagai bagian dari masyarakat yang berhak mengemukakan argumentasi dan pandangan. Sebab beberapa hari ini, sangat terasa, bagaimana Media Masa khususnya TV, acapkali tak menunjukan keadilan opini di dalam pemberitaan yang bersangkut paut dengan Partai ini. Betapa tidak, semua media - media besar khususnya TV yang mengusai hampir sebagian besar penonton nasional dan memiliki jejaring informasi sampai pelosok negeri, terus - menerus tanpa henti melakukan "serangan" opini yang kadang "kabur" dan terkesan tendensius terhadap individu - individu yang bertautan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Nama AHMAD FATANAH menjadi trending topic dan sumber pemberitaan itu, melebar kemana - kemana, walaupun dia bukanlah kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagaimana yang dikatakan Tifatul Sembiring sebagai salah satu petinggi partai ini. Relasinya yang tak cukup wajar dengan beberapa orang perempuan yang mendapatkan limpahan harta menjadi ulasan yang tak kunjung usai. Harta yang dianggap sebagai hasil rampokan kasus Impor daging sapi yang turut serta melibatkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat itu dan beberapa kader lainnya. Bukan hendak membenarkan atau pun melakukan pembelaan atas apa yang telah dilakukan oleh para kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, sebab tindakan Korupsi, apapun alasannya tidak ada kepatutan untuk di benarkan. Hanya saja, sikap media sepertinya telalu berlebihan dalam memberi porsi pada pemberitaan kasus - kasus yang bersangkut paut dengan Partai yang satu ini. Ada sikap vulgaritas yang kelebihan dan bentukan opini yang keseringan dan memuakan. Fenomena yang demikian ini, memang mengkonfirmasi, bagaimana hubungan media dan politik dewasa ini, yang kian menjadi kombinasi tak terpisahkan. Media bukan hanya menjadi alat komunikasi, tapi juga industri yang menopang kehidupan berpolitik. Dan ketika kemudian kapitalisme yang bersinggungan dengan politik memenangkan persaingan, hegemoni atas media pun menjadi konsekwensi yang tak terelakkan. Sebagai Negara yang berdemokrasi maka kehadiran dan peran media massa menjadi sebuah keniscayaan untuk di elakan. Surbakti, 2000 mengatakan telah terjadi Amerikanisasi politik di Indonesia, beliau menyebutkan tiga cirinya yaitu: 1) penggunaan teknologi komunikasi, khususnya TV; 2) kapitalisasi politik atau penggunaan uang dalam jumlah yang besar untuk kampanye (iklan dan pengumpulan massa); dan 3) reduksi kompetisi politik menjadi kompetisi citra para calon. Dalam konteks politik di Indonesia, posisi Media Massa mengalami hegemoni kapitalistik yang bersinergi dengan politik. Jelas terlihat bahwa banyak MEDIA BESAR yang dimiliki oleh sebagian pembesar - pembesar PARTAI POLITIK atau beravialiasi menjadi corong PARTAI POLITIK demi kekuasaan dan uang. Hal ini, menjadikan MEDIA - MEDIA tersebut sulit untuk menghindarkan diri dari subjektifitas pemberitaan, terutama menyangkut kiprah baik buruknya Partai Politik. Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Indonesia Eko Maryadi, juga mengakui hal ini, bahwa Jurnalisme disalahgunakan untuk Rivalitas Politik Pemilik Media. Beredarnya rekaman pembicaraan di media sosial (youtube) tentang rencana penggunaan frekuensi publik (RCTI) untuk kepentingan politik praktis (Partai Hanura)  mengonfirmasi sekali lagi hilangnya etika dan diabaikannya norma hukum yang mengatur dunia penyiaran. Sebelumnya, menurut AJI, praktik yang sama dipertunjukkan oleh Metro TV yang terafiliasi dengan Partai Nasdem dan TV One yang terafiliasi dengan Partai Golkar (Kompas. 06 Mei 2013). Relasi kuasa antara Pemilik modal dan kode etik pemberitaan media menjadi telihat kabur tanpa batasan yang jelas lagi. Media sepertinya tak mampu lagi bertindak di atas etik mereka, tatkala diperhadapkan dengan kepentingan politik pemilik modal. Media di tuntut bermetamorfosis menjadi dua muka, disatu sisi menjadi "Media Partai" namun disisi lain harus menjaga etika kepatutan. Bukan lagi rahasia, bahwa banyak kasus yang bersangkut paut dengan pembesar PARPOL sekaligus pemilik media termasuk kader - kader mereka tak muncul dalam pemberitaan. Masifnya pemberitaan Media TV terkait kasus yang menimpa kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seolah menjadi fakta kedigdayaan "Media Partai". Bagaimana pemberitaan Media Massa khususnya TV dalam kasus yang melibatkan para kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menunjukan eskalasi pemberitaan yang sangat berbeda. "Media Partai" layaknya menemukan momentum yang tepat, seiring dengan pertarungan POLITIK tahun 2014 yang semakin dekat. Momentum yang cukup menjadi alasan untuk "mengkebiri" eksistensi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang selama ini dianggap representative religitas sebuah partai politik berbasis Islam di Indonesia dan cukup bersih dibanding PARTAI lainnya. Yang tentu menjadi ancaman tersendiri bagi partai - partai rivalitasnya dalam meraup suara pemilih. Apalagi selama ini, hamper sebagian besar Partai Politik lainnya, juga memiliki sejumlah kader yang seringkali bersinggungan dengan masalah hukum terutama Kolusi Korupsi Nepotisme (KKN) yang cukup mencoreng nama partai mereka dan mempengaruhi sudut pandang public sebagai pemilih. Kekuatan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memang layak diperhitungkan sebab Partai ini merupakan satu - satunya partai politik yang memiliki basis kader partai jelas dan militant serta proses kaderisasi yang tersistematis dibanding partai lainnya. Perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang fantastis beberapa kali PEMILU belakangan ini, adalah tantangan dan ancaman nyata yang dihadapi rivalitas politik. Pada keikut sertaannya di Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, Partai Keadilan (PK) sebelum berevolusi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memperoleh 1,3% suara. Selanjutnya, tahun 2004, PKS memperoleh suara sebanyak 7,34% (8.325.020) dari jumlah total dan mendapatkan 45 kursi di DPR dari total 550 kursi di DPR. Terakhir, pada Pemilu 2009, sebanyak 57 kursi (10%) di DPR diperoleh partai ini setelah mendapat sebanyak 8.206.955 suara (7,9%). Pada tahun 2014 sesuai dengan rapat pimpinan nasional mereka telah mencanangkan target 3 besar di Pemilu legislatif 2014. Sebuah target yang cukup rasional dan realistis dengan kondisi partai yang cukup stabil sebelum munculnya kasus Impor daging sapi. Pemilih Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebagian besar adalah pemilih rasional menjadi sangat rentan untuk terpengaruh dengan isu - isu yang negative terutama masalah korupsi. Identitas dan karakteristik yang dimiliki oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai representative religitas sebuah partai politik akan memiliki nilai 'jungkal" yang lebih besar dibandingkan PARTAI POLITIK lainnya tatkala tersangkut paut kasus hukum. Menggambarkan posisi dan situasi korup beberapa kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ibarat sebuah kalimat "Jika seorang yang memiliki "labeling" maling melakukan tindakan pemalingan maka tak ada yang mengagetkan sebab dia memang maling tetapi jika seseorang dengan "labeling" Ustad melakukan pemalingan, walaupun secara hukum positif sama - sama bertindak maling, tetapi konsekwensi sosial dan beban moral yang ditanggung tentu memiliki kadar yang berbeda. Karena itu, walaupun sama - sama korupnya dengan partai lainnya bahkan sekalipun lebih korup partai lainnya namun konsekwensi logis psikologis masyarakat yang dihadapi antara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai lainnya sangat berbeda. Oleh karena nya, pemanfataan kasus hukum yang menimpa beberapa kader yang bersangkut paut dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sepertinya menjadi isu sensitif bagi partai ini dan momentum yang tepat bagi "Media Partai" untuk membuyarkan kecenderungan pemilih rasional tersebut. Para pemilih Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang bukan berasal dari kalangan kader akan berpikir ulang untuk tetap memberikan dukungan kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hal ini sangat mungkin, mengingat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak memiliki "perangkat media" yang kompoten untuk melakukan counter attack terhadap masifnya berbagai opini yang dibangun oleh beberapa media belakangan ini. Apalagi, selama ini format kampanye Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih cenderung tradisional bertumpu pada jaringan sosial, basis sukarelawan, aktifitas partai dan komunikasi langsung. Memang format kampanye ini sangat mengakar dan tak dapat serta merta tergantikan format kampanye moderen yang bertumpu pada media massa, hanya saja ruang jangkauan sangat terbatas sehingga mempengaruhi efektifitas penyampaian. Langkah "mengkebiri" sepertinya tidak hanya lewat opini pemberitaan semata, tetapi juga tampak pada dukungan MEDIA TV yang begitu luar biasa atas setiap langkah penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap permasalahan yang dihadapi beberapa kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Masifnya dukungan pemberitaan media ini, tentu jarang kita saksikan pada beberapa kasus Partai lainnya. Tindakan - tindakan yang memberi kesan yang amat sangat janggal dibanding langkah - langkah penindakan mereka terhadap beberapa PARTAI POLIK lainnya yang juga memiliki kader terlibat kasus korupsi yang cukup besar dan massif. Pertontonan ketegasan dan kegarangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tampak luar biasa terhadap kasus yang menimpa Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mulai Penetapan status tersangka terhadap mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sampai dengan proses penangkapan tak luput dari liputan MEDIA. Hanya saja, pertontonan ketegasan dan kegarangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat terlihat berbeda, tatkala berhadapan dengan kasus Partai Politik lainnya. Beralihnya pemilih rasional terutama kelas menegah yang cukup besar sepertinya menjadi harapan yang mungkin saja tersirat dari perilaku "Media Partai" ini. Yang selama ini, sebagian besar pemilih rasional tersebut menjadi lumbung suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS).Beralihnya suara pemilih rasional tersebut, akan menjadi berkah tersendiri untuk mengisi lumbung suara Partai - Partai rival untuk sebuah legitimasi politik yang bisa saja berakhir "Parsial" tanpa makna tanpa substansi bagi negeri ini. Inilah pertunjukan tahun politik, yang banyak diprediksi pengamat, penuh dengan intrik dan langkah - langkah "liar". Di era kedigdayaan media massa, maka MEDIA menjadi salah satu instrument penting yang sangat berperan untuk mempertontonkan politik dan laku politisi. Perubahan informasi kini tidak lagi ada dalam skala minggu atau hari atau bahkan jam, melainkan sudah berada dalam skala menit dan detik. Sehingga Partai Politik yang tak memiliki akses terhadap MEDIA dapat tergilas opini media jika tak mampu menyiapkan langkah - langkah taktik dan strategis sebagai penyeimbang. Satu hal yang penting dengan kehadiran MEDIA MASSA di era reformasi adalah bahwa komunikasi politik di Indonesia telah banyak didukung oleh media massa, hanya saja perlu diimbangi dengan upaya pembebasan media massa sehingga komunikasi politik yang tersampaikan melalui MEDIA MASSA dapat meningkatkan pendidikan dan kesadaran politik Indonesia secara objektif. Dalam situasi ini, mengutip Prasojo ; saran terbaik bagi kita, konsumen informasi yang awam adalah : ketika sebuah media terafiliasi politik memberitakan kegiatan kelompok politik atau figure, maka percayalah, itu semua sampah. Begitu pula ketika media itu membombardir lawan politiknya, maka janganlah coba - coba mengunyah, tapi buanglah, kecuali bila yang diungkap adalah fakta tanpa disertai opini. Namun, bagi para penguasa yang hari ini masih bisa arogan berkat media yang dimilikinya, ketahuilah, kekuasaan Anda agaknya takan lagi lama. Kebangkitan social media secara perlahan akan merevolusi struktur pemegang kekuasaan. Penurunan para gatekeeper informasi tradisional kini telah berada di halaman. Bahkan Rupert Murdoch sang raja media Inggris dan dunia tak mampu membendung kemarahan masa lewat media social on - line, begitupun si Berlusconi raja media asal Italia itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun