Namun akhir-akhir ini penggunaan ungkapan, istilah, perumpamaan kemudian dipelintir menjadi makna "letterlijk" atau memaknai "apa adanya". Jauh dari makna hakiki.
Lihatlah kata "Tapi, kalau diajak berantem juga berani", yang diucapkan oleh Jokowi kemudian "dipenggal" dan kemudian "dipelintir" ajakan berantem. Bahkan "digoreng" sebagai perkataan "tidak nasionalis" dan tidak pantas diucapkan seorang presiden.
Memenggal "Tapi, kalau diajak berantem juga berani", tanpa melihat kalimat sebelumnya adalah pemiskinan dan pendangkalan makna. Penggalan kalimat tanpa menelusuri kalimat sebelumnya menggambarkan sang pembaca gagal menangkap esensi dari maksud dari sang pemberi kalimat.
Gaduh "Tapi, kalau diajak berantem juga berani" melengkapi polemic "Islam Nusantara", seakan-akan membumbung ke angkasa. Menembus langit ketidakpahaman. Persis kisah Dodo yang pernah diceritakan. Kering makna.
Literasi, memperdalam pengetahuan, memperbanyak bertanya (tabayyun), berdiskusi sembari mendengarkan menjadi barang kemewahan. Praktis tidak hidup lagi untuk memperkaya sebuah tema.
Lihatlah. Dunia maya kemudian disesaki berjubel informasi sesat, sempit dan kering makna. Antara kabar kabur (hoax) bersileweran dan mengaburkan esensi berita. Provokasi membenarkan perbuatan yang bertentangan kemanusiaan "seakan-akan" mendapatkan pembenaran. Entah dengan mendukung terorisme atau cerita tentang wangi bidadari sebagai dukungan terhadap pelaku terorisme.
Setiap hari memproduksi sampah kebencian. Mengambil (capture) tanpa pernah melakukan klarifikasi kepada informasi resmi. Mengutip media abal-abal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Bahkan yang lebih ironis. Justru pelakunya adalah kelas menengah. Â "Kaum' yang mengenyam pendidikan tinggi, mengakses informasi dengan baik dan kehidupan keluarga yang terpandang. Tidak ada "akal sehat' untuk menjadi "filter" dari kabar yang diterima.
Kengganan Memperbanyak literasi, memperkaya gagasan menyebabkan kemunduran peradaban agung bangsa Indonesia.
Sebuah anomali kelas di Indonesia. Dimana masyarakat yang tinggal-tinggal di kampong mempunyai literasi penggunaan istilah, pengungkapan, pepatah, perumpamaan yang agung didalam memaknai kehidupan.
Berbanding terbalik dengan kelas menengah di Indonesia yang justru terkungkung pemikiran sempit, dangkal dan jauh dari esensi sebuah peristiwa.