Iyap. Literally huru hara berbalut kesabaran. Mengapa huru hara? Malam ini, jemaah tarawih bergegas tempati masing-masing shafnya. Gegas kaki ditingkahi suara para petugas masjid, memastikan setiap jemaah berdiri pada shaf serta berjarak. Saya yang tadinya hendak membersihkan kaki, akhirnya memilih langsung memburu shaf. Tak seperti semalam, kali ini saya berada di shaf paling belakang.
Tunggu, tak sepenuhnya paling belakang. Di sepetak penutup sebagian halaman tanah kompleks masjid yang terbuat dari coral sikat, masih ada sekian baris shaf dari jemaah perempuan. Yang datang belakangan, malah justru mendapat shaf lebih depan dari petak barisan saya. Walau sama-sama di bidang-bidang coral sikat juga. Sungguh tarawih rasa sholat Iedul Ftri. Ketika jemaah sholat luber sampai halaman masjid.
Bahkan, sekali waktu, saya pernah sungguh sengaja menghitung. Jalur utama penghubung kota Selong, menuju terminal bis di ibukota propinsi Mataram, ada sekitar 25an masjid jami'. Total jaraknya sekitar 68 kilometer. Ini pun hanya masjid yang tampak dari atas kursi angkot antar kota yang saya tumpangi. Minus menara masjid yang tampak di kejauhan, atau sekitar 15an meter lebih dari pinggir jalan raya.
Buah Sabar dari 'lombok'nya Lombok
Apa maksud dari frase berulang, 'lombok'nya Lombok? Sejatinya, kata Lombok bermakna 'lurus'. Namun, pengucapannya berbeda. Jika umumnya penyebutan 'Lombok' seperti penyebutan huruf 'O' kedua seperti pada kata 'tembok', kata yang bermakna 'lurus' penyebutannya berbeda. Huruf 'O' kedua, dilafalkan seperti pada kata 'demo', 'kemoterapi' atau kata 'bolo' bahasa Jawa yang berarti 'teman'.
Malam ini, pada momen pengaturan jemaah tarawih, makna 'lurus' inilah yang saya rasakan. Tak ada protes khas a la emak-emak, yang terkenal dengan salah satu meme 'sen kiri saat belok kanan'. Hampir semua jemaah menuruti arahan tangan Petugas Masjid.
Ternyata ada ruang kosong di belakang shaf saya. Jadi, sekitar tujuh kotak keramik masjid, sekira lebar 3 meter terisi maksimal oleh dua jemaah saja. Subuh tadi, jadi tiga. Lagi-lagi karena seorang ibu, merasa tak nyaman berada sendirian di shaf terdepan. Syukurnya, tak msalah. Antar kami bertiga, masih berjarak sekitar satu ruang kosong. Shaf yang dulunya padat dan bisa diisi sekitar enam perempuan dewasa.
Ejawantah 'lombok' Para Petugas Masjid dan Petugas Jaga Satpol PP
Di sela doa antar rakaat tarawih, saya mencuri lihat ke gerbang masjid. Beberapa bapak-bapak masih berjaga dan tidak ikut berjemaah. Ketika saya konfirmasi usai tarawih, sebagian besar mereka adalah Pengurus Masjid Al Amanah. Salah seorangnya tetangga masa kecil saya. Rumahnya berbatas tembok dengan rumah orangtua saya. Yanuar Abdi, menyebutkan "Iya, kami pengurus masjid harus berjaga dulu. Memastikan jemaah masjid shafnya tetap berjarak, serta memastikan penggunaan masker dan standar protkes lainnya".
Sesama pengurus lainnya bernama Adi, menambahkan penjelasan, bahwa di Ramadhan 1442 H kali ini, Ketua Pegurus Masjid adalah Haji Hifsan Arwan. Sayang, karena saya sudah kadung berada di luar gerbang, jadi agak sungkan bertanya ini itu kepada beliau. Saat ngobrol dengan Yan dan Adi, pak haji sedang duduk di bagian dalam halaman masjid. Mungkin lain waktu, saat sedang tidak sebergegas malam ini.