Mohon tunggu...
Om Lihin
Om Lihin Mohon Tunggu... Administrasi - Guru yang suka menulis

Sementara hanya bisa merangkai huruf, dan masih takut mati.... Malas menulis di kompasiana, sukanya baca baca saja. Tanya kenapa???

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelajaran dari Sepak Terjang La Maddukkelleng; Arung Matoa Wajo

10 November 2012   08:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:40 5021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1352535673167256583

La Maddukkelleng, seorang pahlawan Nasional, memiliki sepak terjang yang patut diperhitungkan. Banyak hikmah dalam catatan sejarahnya, yang bisa dijadikan pelajaran dalam resah paradigma kepemimpinan sekarang. Sepak terjangnya jarang diungkap dalam literatur. Bagi penulis, ini dikarenakan kurangnya penulis yang menyempatkan diri menggali catatan sejarahnya. La Maddukkelleng adalah putera dari Arung Peneki La Mataesso To Adettia dan We Tenriangka Arung Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenriua (1713-1737). [caption id="attachment_208532" align="aligncenter" width="570" caption="Lukisan La Maddukkelleng. Sumber: facebook.com"][/caption] Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka, mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng, untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga puterinya. I Wale di Cenrana salah satu daerah kerajaan Bone. Waktu itu, La Maddukkelleng dipeintahkan pamannya Arung Matoa la Salewangeng to Tenrirua, ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih Arung Matoa. Sebagai suatu kebiasaan dalam acara seperti itu, diadakan sabung ayam. Dan pada waktu itu, ayam Arung Pone, La Patau Matanna Tikka, kalah. Pengawal tidak menerima kekalahan itu, dan melempar bangkai ayam yang kalah itu, dan mengenai Arung Matoa La Salewangeng, sehingga terjadi keributan yang mengakibatkan jatuhnya korban dari kedua belah pihak. La Maddukkelleng mundur ke Wajo dan dinyatakan sebagai buronan politik. Tahun 1713, dia bersiap merantau ke Kutai. Arung Matoa pamannya bertanya, “aga bokongmu?”, (apa bekalmu?). La Maddukkelleng menjawab, “cappa lila, cappa kawali, cappa katawang, (ujung lidah, ujung badik/ senjata, ujung kemaluan/ perkawinan).”

***

Lamaddaremmeng Arung Pone 13 menikah dengan Ranreng Tua Wajo binti Arung Matoa Wajo, melahirkan La Pabbokoe Arung Timurung, Arung ini ingin menegakan syariat islam secara keras akibatnya terjadi penolakan dari ibundanya Datu Pattiro. Sehingga dipanggillah dia ke gowa, dan di sinilah awal mulanya campur tangan kerajaan Gowa terhadap kerajaan Bone. Lamaddaremmeng memperluas wilayah kerajaan Bone dengan mengambil wilayah Peneki dan Bola dan melanggar perjanjian Tellumpoccoe, yang salah satu isinya, ....te sioti tello, te sikajojo kalobeng, te siala mana.... (intinya berarti, tak saling mengganggu wilayah). Arung Matoa La I Sigajang to Bunne sepupu satu kali Arung Palakka menolak itu, sehingga terjadi peperangan antara kerajaan Bone versus kerajaan Wajo. Pada peperangan itu, Arung Matoa Wajo gugur. Tahun 1660 benteng Panakukang jatuh ke VOC tanpa perlawanan dari kerajaan Gowa. Hal ini disebabkan adanya orang dalam, yang dengan senang hati menyerahkan benteng itu ke VOC. Nanti setelah Arung Palakka bersekutu dengan VOC barulah perlawanan dari kerajaan Gowa muncul. Pada perang makassar (1667-1669), kerajaan Wajo berafilisai dengan Gowa, dengan alasan; 1) Kerajaan Gowa lebih menjamin terjaganya wilayah Wajo, dibanding dengan Bone. 2) Arung Matoa Wajo mempersunting salah satu anak Sultan Hasanuddin. Pada perang itu, kerajaan Gowa kalah. Namun Kerajaan Wajo tidak bersedia menanda tangani perjanjian Bungaya, akibatnya kerajaan Wajo dikepung oleh pasukan Arung Palakka di Tosora sebagai ibukota kerajaan Wajo. Satu persatu palili (daerah bawahan) jatuh, kecuali Belawa dan Gilireng, meski kedua palili ini dalam keadaan kritis. Kerajaan Wajo akhirnya kalah, meski Arung Matoa Wajo sendiri, tidak pernah mengaku kalah. Akibat hancurnya Benteng Tosora (1669), banyak rakyat merantau ke beberapa daerah, termasuk Samarinda, di bawah Lamohang Daeng Mangkona sebagai pemimpin imigran Wajo di Samarinda (dalam sejarah, Lamohang Daeng Mangkona disebut sebagai pendiri Samarinda). Pasca kekalahan, kerajaan Wajo menderita kemiskinan sampai Arung Matoa Wajo ke 30, La Salewangeng to Tenriruwa memerintah. Penguatan ekonomi di mulai, dengan model koperasi. Namun, belum sempat memulihkan kedudukan Wajo sebagai salah satu kerajaan di Sulawesi. Oleh karena itulah, dia digelari Petta Mpelangi Pattujunna, (raja yang meninggalkan harapannya). Untuk mengatasi dan memulihkan hal itu, diutuslah Arung Ta La Dalle, untuk meminta Petta La Maddukkelleng kembali ke Wajo yang saat itu berada di Pasir. Setelah menerima surat itu Petta La Maddukkelleng kembali dari pasir bersama pasukan Gorae, pasukan elitnya (sejenis pasukan bajak laut). Sebelum mendarat di Doping, pasukan Gorae melewati perairan Mandar dan Pangkep, dan membakar pos-pos pertahanan terluar Belanda di sana. Kemudian masuk ke Somba Opu bertemu Karaeng Bonto Langkasa, dan menyusun rencana perlawanan. Bersekutulah La Maddukkelleng, dengan Karaeng Bonto langkasa, serta Arung Kaju Lapassompereng. Berita kedatangan La Maddukkelleng terdengar oleh Batari Toja (Raja Bone waktu itu yang pro VOC, meski suaminya anti VOC). Itulah sebabnya. ketika La Maddukkelleng masuk ke Wajo melalui perairan Doping dia bersama pasukannya dikepung di daratan oleh pasukan gabungan Tellumpoccoe (Bone, Wajo, Soppeng) yang tidak sepaham politik terutama dalam melihat kedudukan VOC. Namun, dengan modal cappa’ lila (kemampuan lobi), La Maddukkelleng berhasil mendarat di Doping, dan menziarahi kubur Petta Cinnong Tabi, dan berjalan ke Paria. Petta La Maddukkelleng kemudian dilantik sebagai Arung Matoa Wajo di Paria, dan melanjutkan perjalanan ke Tosora, dan menyusun kekuatan baru. Berkat lobi pula, pasukan Tellumpocce yang berasal dari kerajaan Wajo yang mulanya ingin menyerang La Maddukkelleng, akhirnya berbalik mendukung. Ketika La Maddukkelleng di Tosora, kerajaan Wajo dikepung oleh VOC, dan sekutunya termasuk kerajaan Bone, dan kerajaan Soppeng, dan terjadi beberapa kali pertempuran. Namun, di bawah pimpinan La Maddukkelleng, Wajo berhasil menduduki sampai di Palakka. Batari Toja (Arung Pone), bahkan mengungsi ke Makassar. La Maddukkelleng kemudian melakukan lobi kepada pihak kerajaan Bone, meminta kembali rampasan perang ketika Tosora awalnya kalah. Setelah itu, La Maddukkelleng meminta sepupunya, La Sangaji Daeng Lebbi (Ranreng Benteng Pola), untuk kembali ke wajo menjaga ibukota (Tosora), sedangkan La Maddukkelleng melanjutkan ke Makassar untuk menyerang posisi VOC di sana. Bersama Karaeng Bonto Langkasa Karaeng To Mabbicara Butta Gowa, La Maddukkelleng menyerang VOC. Namun Karaeng Bonto Langkasa gugur dalam penyerangan itu yang berakibat La Maddukkelleng mundur, dan kembali ke Wajo. Serangan itu bisa dikatakan gagal. Hal lain yang mengganggu konsentrasi perang, La Oddang sultan Fakhruddin sepupu dari Batari Toja waktu itu, mengambil pusaka Bone dan Soppeng, dengan tujuan menjadi Arung Pone dan Soppeng. Sesampai di Wajo, Petta La Maddukkelleng tidak berhenti dan berniat menyerang kerajaan Sidenreng, dengan alasana kerajaan Sidenreng juga bersekutu dengan VOC. Namun kebijakan penyerangan itu tidak disepakati La Pallawagau Pilla Wajo yang merupakan salah satu pemimpin pasukan ketika menyerang Bone dan berhasil masuk ibu kota bone, dengan alasan La Wawo Addatuang Sidenreng adalah ipar Pilla Wajo. Terjadilah konflik internal di kerajaan Wajo, pandangan Pilla Wajo itu, oleh La Maddukkelleng, dinilai sebagai bentuk persekutuan dengan VOC. Di sinilah pertunjukan demokrasi di Wajo terlihat. Artinya, meski La Maddukkelleng yang dikatakan penolong, pahlawan yang berhasil mengalahkan Bone dan berani menyerang VOC, namun tidak berarti semua kebijaannya bisa dilaksakan semaunya. La Maddukkelleng juga memperlihatkan ketegasannya, tidak mau menerima pendapat Pilla Wajo meski, penyerangan ke Sidenreng tidak dilakukan. bahkan dalam salah satu versi lontara dalam buku Cronic Van Wajo dikatakan, petta La Maddukkelleng tidak mau menemui Pilla Wajo. Dan akhirnya La Maddukkelleng, mengundurkan diri sebagai Arung matoa dan mengatakan, “rakyat melantik saya sebagai Arung Matoa pada saat perang dan kini, saya kemalikan pula tahta ini pada saat perang.” Sampai di sini, penulis akan mengungkap sedikit hikmah yang dapat diambil sebagai pelajaran dari sepak terjang La Maddukkelleng. Kenapa?, 1) Secara pribadi, penulis terkait secara geografis dengan daerah yang disebutkan. 2) Kurangnya review secara historis mengenai pahlawan yang tercatat, khususnya di daerah Sulawesi Selatan. 3) Harapan akan lahirnya inspirasi baru dari sosok seorang pahlawan.

  1. Nasionalisme. Nasionalisme sebagai kecintaan akan tanah air ditunjukan dengan nyata oleh La Maddukkelleng. Posisinya di Pasir sebagai suami Raja Pasir waktu itu, rela ditinggalkan.
  2. Keberanian. Keberanian La Maddukkelleng, bukan hanya seperti ungkapan bekalnya ketika hendak merantau ke Kutai. Bukan pula hanya keberaniannya melawan VOC, dan kerajaan Bone. Namun, keberaniannya membela martabat kerajaan ketika kisruh acara sabung ayam ditunjukan, meski beberapa literatur sejarah mncatat waktu itu, beliau baru sembuh dari proses khitan.
  3. Kekuatan Lobi. Bukanlah sebuah jaminan, bahwa kekuatan fisik, keberanian, dan kemampuan berperang, seorang akan mencapai tujuannya. Hal ini beberapa kali ditujukan oleh La Maddukkelleng. Kelihaian dalam lobi dalam bentuk dialog dan tawar menawar, menjadi salah satu kunci sukses La Maddukkelleng.
  4. Demokratis. Sifat inilah yang paling penulis saluti. Posisinya sebagai Arung Matoa Wajo, keberanian, dan kepahlawannaya, tidak serta merta menjadikannya sebagai Arung Matoa otoriter. Saran dari seorang pilla sekalipun ia dengarkan, meski La Maddukkelleng tahu bahwa saran tersebut, berasal dari perasaan nepotisme pilla yang kuat terhadap iparnya. La Maddukkelleng bisa saja bersikeras dengan pendapatnya untuk menyerang Kerajaan Sidenreng, namun dia ingin menghargai tatanan demokrasi yang telah tertanam dari Arung Matoa pendahulunya.

Semoga bermanfaat. Glosarium: Arung: Penguasa Datu: Gelar Raja (wilayah daerah tua) Arung Matoa: gelar raja wajo Pilla: Panglima perang Petta: Tuan Addatuang: Gelar Raja Sidenreng Karaeng: Gelar Penguasa di Makassar Ranreng: Pejabat Distrik yang Mengawasi Arung Matoa VOC: Verenigde Oost Indische Compagnie. Persekutuan dagang Hindia Belanda pada abad XVII *Gelar dalam kebangsawanan Bugis-Makassar, disertai dengan nama daerah kekuasaannya. Sumber: J. NorDuyn, Cronic Van Wajo http://id.wikipedia.org/wiki/La_Madukelleng Wawancara dengan Budayawan Wajo Andi Rahmat Munawwar (10 November 2012)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun