Mohon tunggu...
Musyaffa M Sos
Musyaffa M Sos Mohon Tunggu... Dosen - When we should change, there is chance

We never die, couse always think and show writting....

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tantangan Kebebasan Bersuara dan Bermedia di Tiongkok

4 April 2020   00:00 Diperbarui: 6 April 2020   11:04 1995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokter Li, Sumber: Kompas.com

Cina, atau saat ini dunia menyebut Tiongkok, selalu mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Catatan tertulis dengan ‘tinta merah’ dari berbagai akademisi atau ilmuan, praktisi dan pemerhati bidang komunikasi dan pers, utamanya terhadap Tiongkok, selalu hangat untuk diperdebatkan. Tidak hanya cara dan sistem politik dan pemerintahannya yang menganut sistem Komunis itu, tetapi dampaknya terhadap kebebasan pers dan kebebasan pendapat, terasa hingga saat ini.

          Padahal, dekralasi universal Human Right 1948, yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), merekomendasikan atas kemerdekaan menyampaikan pendapat dan gagasan bagi setiap warga negara  adalah keniscayaan. Alih-alih kemerdekaan bidang media, kemerdekaan warga dalam menyuarakan suara kritis melalui media sosial saja sangat dibatasi oleh Tiongkok. Apalagi, jika model dan karakteristik netizen-nya seperti Indonesia, jelas tidak sesuai dengan gaya pemerintah Tiongkok yang terkesan ‘tegas dan kejam’ mengendalikan itu semua.

          Ada beberapa hal guna menegaskan asumsi terkait  Tiongkok berada di zona merah kebebasan pers. Setidaknya, hal demikian  terlihat dari fenomena yang terjadi belakangan ini. Pertama, Tiongkok mengusir 13 wartawan asal negeri Paman Sam. Kejaian ini berlangsung pada pertengahan bulan lalu, 18 Maret 2020. Awak media asal Amerika Serikat yang diusir, berasal dari Times, Washington Post, dan Wall Street Journal. Pengusiran tersebut telah menyulut emosi dari pihak AS dan jurnalis dari ketiga media terkait. Mereka menyebut, perlakuan Tiongkok terhadap mereka adalah bentuk pembelengguan terhadap kebebasan pers. Para jurnalis dari negeri Paman Sam tetap akan mengekspos segala realita tentang China, terlebih upaya negeri Tirai Bambu dalam penanganan pandemi Coronavirus Desease 2019 (Covid-19).

          Kedua, Tiongkok memberikan intervensi dan hukuman kepada dua dokter di Wuhan. Kedua dokter tersebut merupakan pihak pertama kali mendeteksi dan mengungkap virus pandemi  Covid-19, Desember tahun lalu. Hal tersebut dibuktikan dengan menghilangnya dr. Ai Fen, pengungkap pertama Covid-19, dan hukuman terhadap dr. Li Wenliang, kolega dari dr. Ai Fen yang turut membenarkan temuan virus ganas mematikan itu. Dikabarkan 60 Minutes Australia, Dokter Ai tidak terlihat lagi setelah memberikan wawancara kepada People. Dokter Ai mengritik manajemen rumah sakit dalam merespons temuannya. Rumor dia menghilang, muncul setelah, Dokter Ai mengkritik pemerintah Tiongkok yang berupaya menutupi situasi tentang pandemi yang terjadi. Kritik Dokter Ai tak bersalung lama dan dihapus atas intervensi otoritas setempat. Lantas, melalui media sosial miliknya, Weibo (Salah satu platform media sosial di Tiongkok), ia terakhir menuturkan, “Sebuah sungai, jalan, jembatan, dan jam yang berdentang,” demikian menurut laporan berita yang dikutip RFA via Daily Mail, Rabu, 1 April 2020. Hal yang membuat semua pihak terenyuh, saat Dokter Ai mengatakan, “Jika saya tahu akhirnya bakal seperti ini, saya tak peduli akan hukuman. Saya akan terus menyuarakan (perihal covid-19) kepada siapa pun”. Sejak saat itulah, publik sudah tidak melihat keberadaan Dokter Ai.

          Hukuman dan intervensi dari aparat pemerintahan tidak hanya terjadi pada Dokter Ai, tetapi juga terjadi pada koleganya yang turut serta berjuang mati-matian menangani pasien Covid-19. Ia adalah Dokter Li Wenliang. dr. Li Wenliang  meninggal diusia 34 tahun. Ia meninggal saat menangani pasien Covid-19. Ia juga berstatus sebagai orang yang terinfeksi positif Covid-19. Ia pun juga mendapatkan sorotan negatif dari pemerintah Tiongkok. Mirisnya, Ia dituduh menyebarkan kabar ‘burung’ tentang Covid-19. Mendiang dr. Li merupakan salah satu dari sekelompok dokter di Wuhan yang mengunggah peringatan di media sosial tentang penyebaran pandemi. Meskipun perlakuan dari kepolisian Tiongkok tidak layak, dan hal itu diakui oleh otoritas Tiongkok. Alhasil, masyarakat Tiongkok geram, dengan menyuarakan kecaman terhadap otoritas berwenang negeri Panda itu, melalui media sosial Weibo.

          Hal yang terjadi pada fenomena pertama dan apalagi terjadi pada fenomena kedua, menegaskan bahwa pemerintah Tiongkok membatasi akses kritik dan informasi penting dari warga melalui berbagai media. Padahal, kita ketahui, saat ini tengah memasuki era revolusi industri 4.0, dengan ditandainya era produksi kecerdasan buatan (Artificial Intellegency). Pada era saat ini, industri media menyesuaikan perkembangan gaya komunikasi warga. Apalagi, setiap warga memiliki gawai yang terdapat aplikasi media sosial. Hal ini menambah indikator, bahwa teknologi komunikasi sedang memasuki fase kemajuan yang berarti. Fenomena itu tidak dapat dipungkiri. Platform media sosial telah memberikan ruang kepada siapa saja untuk menjadi produsen informasi dan atau komunikator. Media sosial memberi ruang bagi penggunanya untuk dapat menjadi pelaku atau subjek dari komunikasi, sudah tidak hanya menjadi objek dari proses komunikasi.

          Intervensi terhadap kebebasan bersuara oleh pemerintah komunis Tiongkok, cenderung menguasai media arus utama negeri itu, seperti Harian Xinhua, dan media penyiaran CCTV. Tetapi sulit jika harus mengintervensi warganya untuk cerdas bersuara melalui media sosial mereka. Tetapi, begitulah rezim otoriter negara Tirai Bambu ala Komunis itu. Freedom House masih menyebut, bahwa Tiongkok selalu berupaya memberikan pembatasan bagi warganya dalam menggunakan media sosialnya. Peristiwa yang menimpa dua dokter handal sebagaimana penulis deskripsikan di atas, tidak hanya mendefinitifkan asal Covid-19 yang berasal dari negeri mata sipit. Namun, juga telah membuka cakrawala bagi bangsa mereka, bahwa dua dokter itu adalah pahlawan kemerdekaan bersuara, di tengah pembatasan dari Pemerintah Partai Komunis yang berkuasa. Tidak ada salahnya, ketika banyak publik Tiongkok justru mengapresiasi positif apa yang dilakukan dua dokter tersebut, dan justru tepat ketika harus memberi kritik kepada pemerintah negaranya.

 

ai-5e8766b9097f361a3d4516f4.jpg
ai-5e8766b9097f361a3d4516f4.jpg
          Kejadian seperti di atas, juga telah menegaskan asumsi para tokoh komunikasi media. Tokoh-tokoh tersebut, antara lain: Siebert, Peterson, Chramm. Mereka sepakat, menyebut sistem pers komunis cenderung memosisikan media dikontrol oleh aparat pemerintahan partai komunis. Media tak bisa mengkritik tujuan partai. Pikiran demikian diprakarsai oleh, Lenin, Marx, Stalin, Mao, Castro, Gorbachov. Selain Republik Rakyat Tiongkok (RRT), ada Rusia dan Kuba menganut sistem ini. Hachen menambahkan konsep tentang pers komunis terkait kebijakan terhadap media. Hachen menyebut bahwa kebijakan pada tipe Komunis, menekankan pada penyebaran pandangan dan kebijakan pejabat; memobilisasi dukungan untuk kemajuan nasional.

          Dua fenomena di atas juga menegaskan asumsi dari Organisasi Reporters Sans Frontieres (RSF), terkait indeks tahunan kebebasan pers. RSF menyebut, Cina dan Vietnam adalah penjara terbesar dunia bagi para wartawan dan blogger. Tidak hanya dua negara itu, terdapat sejumlah negara yang juga berbahaya bagi wartawan, antara lain: Pakistan, Filipina dan Bangladesh. Bahkan, organisasi RSF juga menjuluki Cina, Korea Utara, dan Laos sebagai Predator Kebebasan Pers. Banyak indikator untuk mengukur kebebasan pers dari organisasi ini. Beberapa indikator itu, antara lain: Pluralisme, independensi media, sensor, serta kualitas prasarana untuk memproduksi berita dan informasi. Indonesia dalam laporan tersebut, menunjukkan hasil positif terhadap kebebasan pers. Indonesia juga menjadi kampiun kebebasan Pers di Asia Tenggara.

          Refleksi dari tulisan ini, penulis berasumsi bahwa perlu ada kesadaran pemerintah komunis Tiongkok, agar memosisikan suara dan pendapat rakyat sebagai kontrol negara. Negara juga harus meminimalisir terjadinya intervensi keterlaluan kepada pendapat rakyat. Sistem pers di negara tersebut harus dapat menyesuaikan era saat ini. Kran keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat harus dijamin oleh konstitusi. Hal ini juga bagian dari amanat PBB dalam Universal Deckalration of Human Rights. Dengan adanya keterbukaan, memungkinkan informasi dari masyarakat, dapat memicu kemajuan dan perkembangan pembangunan negara. Seyogyanya, pers bukan bersuara berdasarkan partai berkuasa, tetapi bersuara selayaknya realita yang ada, dan mengakomodasi suara rakyat jelata di sana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun