Kesenian Sandur Khas Tuban  Â
                       Â
Negara Indonesia terkenal dengan beragamnya seni dan budaya adiluhung. Setiap daerah memiliki gaya dan jenis kesenian yang berbeda-beda. Dalam satu provinsipun terkadang jenis keseniannya berbeda. Inilah yang menjadikan Negara menjadi kuat melalui beragamnya seni dan budaya. Tidak hanya itu, negara lain juga menghormati akan kekayaan yang dimilikinya. Jenis kesenian yang berbeda-beda itu juga tinggi makna dan filosofinya, karena terlahir dari masyarakat itu sendiri. Seperti halnya kesenian Sandur di Kabupaten Tuban Jawa Timur.Â
Â
      Jelasnya asing mendengar kata sandur, memang dari segi kata ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum, apalagi artinya. Dengan pengalaman membaca buku seni atau budaya Indonesia, kalian akan menemukan kata ini dan memahami artinya sekaligus akan menarik jenis kesenian ini. Sandur berasal dari kata San yang artinya isan (hasil panen) dan Dur artinya ngedhur (tanpa berhenti, kerja keras). Dan juga ada yang mengartikan Sandur adalah beksan mundur, karena dalam pertunjukannya ada beberapa adegan yang berjalan mudur. Secara umum Sandur merupakan kesenian tradisional yang berbentuk seni peran atau teater berkembang di daerah Tuban, Bojonegoro dan Lamongan. Ketiga daerah tersebut masih melestarikan kesenian tersebut karena dianggap Sandur memiliki kekuatan untuk menyatukan masyarakat melalui danyang.
      Berbagai sumber di Kabupaten Tuban menyatakan bahwa Sandur adalah sarana atau ritual sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan panen yang berlimpah. Hasil panenya berupa padi, jagung, kedelai, kacang tunggak, dan lain sebagainya. Akan tetapi yang paling banyak adalah padi, karena padi merupakan tanaman pokok sumber kehidupan. Selain itu juga sumber air dari sungai tidak pernah habis. Kesenian Sandur juga dipercaya sebagai pelindung desa tersebut, memberikan rasa aman, nyaman dan tentram serta menghindarkan dari mala petaka atau musibah yang menimpa desa. Titik rasa sosialpun sangat kuat, tidak ada yang merasa lebih kuat, hebat, kaya, semua lapisan masyarakat sama, saling menghormati, menghargai dan saling membantu sama lain. Mulai dari kepala desa, perangkat, sesepuh, santri, anak muda, anak kecil bahkan balita berbondong-bondong melihat seni pertunjukan Sandur sekaligus merayakannya sebagai ungkapan bahagia.
Bentuk Pementasan
      Kesenian Sandur identik dengan kehidupan agraris atau pertanian. Sosok petani yang telah berhasil menanam bibit pertanian seperti padi sampai dengan proses memanen dengan hasil yang melimpah. Seperti halnya di dalam bentuk keseniannya, dari tokoh dan bentuk pertunjukannya menggambarkan kehidupan pertanian di desa. Ada beberapa tokoh di antaranya adalah Pethak, Balong, Tangsil dan Cawik. Kemudian terdapat tokoh pendukung yaitu Tukang Kandhut, Tukang Oncor dan Panjak Hore. Tokoh-tokoh tersebut melambangkan sisi kehidupan masyarakat agraris.
      Terdapat tiga babak di dalam pertunjukan Sandur yaitu babak pertama, babak kedua dan babak ketiga. Babak pertama ini adalah awal atau pembuka pementasan, disajikan nyanyian atau kembang-kembangan oleh sekelompok panjak hore. Namanya juga panjak hore, sangat identik dengan banyak orang ahli yang sedang bahagia atau menyorakkan. Pastinya sagat rame, kompak dan bersinergi satu sama lain. Semua panjak hore adalah laki-laki, tidak ada yang berjenis perempuan. Karena bertugas sebagai penyenggak atau nyenggaki dengan lantunan tembang. Kemudian ada istilah kembang-kembangan, karena tembang yang dilantunkan ini teks atau lirik menggunakan nama bunga (kembang),misalkan bunga durian (kembang duren), bunga jagung (kembang jagung), bunga pisang (kembang ontong), bunga randu (kembang randu) dan lain sebagainya. Alat musik tradisional yang digunakan untuk mengiringi kembang-kembangan ini adalah kendang ciblon. Kendang ciblon tergolong alat musik yang berbentuk tabung, di sisi kanan dan kiri terdapat kulit menghasilkan suara tak, thung, lung, dhet, dhe, dlang, dan lain sebagainya.
      Dengan lantunan kembang-kembangan dari panjak hore, ke empat tokoh sandur (Pethak, Balong, Tangsil, Cawik) mengelilinginya dengan dipandu oleh tukang oncor. Proses mengelilingi ini membutuhkan waktu yang agak lama, karena sambil paesan atau menghias dirinya dari memasang alis sampai dengan memakai busana. Kemudian pada saat panjak hore melantunkan syair oela ala surak hore hore. Seiring terdengar syair itu, ke empat tokoh yang dipandu oleh tukang oncor memasuki arena pertunjukan, berjalan berbaris pelan dari arah kidul kulon (selatan, utara) dengan mata diiket kain agar tidak kelihatan. Tidak hanya sembarang barisnya, melainkan urut mulai dari tukang oncor-balong-cawik-pethak-tangsil. Proses berjalannya harus sesuai dengan arah putaran jarum jam sebanyak satu kali, dan tiba di arah utara dan duduk menghadap ke timur.      Mantra-mantra mulai diserukan oleh tukang kandhut, agar pertunjukan diberikan kelancaran dan kesuksesan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
      Babak kedua ditandai oleh 4 tokoh sandur dan germo saling berdialog dan bercerita. Inti ceritanya menggambarkan anak seorang petani miskin, tidak punya harta benda apapun, sawah tidak punya, ladang, kebun, persil. Tetapi punya niat yang tulus untuk mencari pekerjaan di desa. Pekerjaan di desa yang biasa dilakukan misalnya ngarit/mencari rumput untuk sapinya tetangga, buruh tani, matun, ngrakal, ngglugu, undoh-undoh. Seiring dengan dialognya, panjak hore melantunkan tembang yang isinya mengenai keadaan dan kondisi 4 tokoh sandur tersebut.