Mohon tunggu...
Mohammad Munir
Mohammad Munir Mohon Tunggu... Administrasi - Goverment Employer

Berusaha berbuat baik setiap saat dan selagi sempat....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Tinggi, Pesonamu yang Kian Sulit Terjangkau

11 April 2018   21:05 Diperbarui: 11 April 2018   22:53 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(edukasi.kompas.com)

Mengenyam Pendidikan tinggi tentu menjadi keinginan hampir semua lulusan setingkat  sekolah menengah atas (SMA)/sederajat. Mengantarkan anak untuk bisa sekolah di perguruan tinggi favorit juga menjadi cita-cita hampir semua orang tua murid.

Maka layak jika orang tua merasa kurang dengan Pendidikan formal yang berlangsung di sekolah pagi hingga sore, sehingga banyak orang tua dari kalangan mampu masih merasa perlu memberikan porsi tambahan bagi anaknya dengan les privat atau bergabung dengan Lembaga bimbingan belajar favorit.

Pesona perguruan tinggi favorit begitu menyedot perhatian para siswa tingkat akhir, topik pembicaraan mereka adalah kuliah pada jurusan tertentu dan menjadi sarjana dari Universitas pilihan. Begitu antusias membahas rencana setelah lulus SMA. Perbincangan antar teman di SMA  begitu menyenangkan.

Bagi yang orangtuanya mampu tentu tak usah berpikir panjang, tapi bagi kalangan menengah ke bawah, persoalan biaya pada hari ini tentu harus menjadi pertimbangan utama. Pasalnya biaya pendidikan tinggi dalam satu dekade terakhir melonjak tinggi sehingga dan menjadi keluhan para orang tua calon mahasiswa.

Bagi kalangan bawah,  mengenyam Pendidikan tinggi di beberapa jurusan favorit hanya menjadi mimpi, Pendidikan tinggi hanya bisa dijangkau oleh kalangan tertentu, terlebih  alih-alih untuk menambal kebutuhan operasional institusi, banyak perguruan tinggi membuka akses jalur mandiri yang semata hanya menggantungkan pada kemampuan finansial calon mahasiswa. Sangat tampak sistem yang diterapkan oleh Pendidikan tinggi jauh dari berkeadilan.

Orang kaya bisa membeli apasaja termasuk fasilitas Pendidikan tinggi bagi anak-anaknya, sedangkan bagi orang miskin untuk dapat menempuh Pendidikan tinggi tidak cukup hanya berbekal tekad, karena selain mampu secara akademis juga harus punya daya tahan lebih untuk dapat berjuang dengan kondisi finansial pas-pasan untuk merampungkan kuliah dengan berbagai macam cara.

Kondisi dunia Pendidikan tinggi yang kian liberal menjadi  sebuah elegi sekaligus ironi yang memprihatinkan, sebab bangsa ini maju tentunya dengan pendidikan. Tapi, kesempatan menikmati pendidikan tinggi  hanya untuk orang-orang berduit. Konstitusi memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara, namun dalam ranah realitas jelas menjadi fakta sebuah ketimpangan dan ketidak adilan yang memprihatinkan.

Biaya kuliah  yang mahal menjadi berita traumatik bagi warga yang tidak mampu, betapa tidak, tingginya biaya kuliah seolah memformalkan diskriminasi hak akses untuk memperoleh dan mengenyam Pendidikan tinggi. Dunia pendidikan tinggi telah menjadi institusi  yang mengadopsi sistem  industrialisasi dan komersialisasi.

Apapun ceritanya, minimnya intervensi negara terhadap persoalan dunia pendidikan tinggi telah menciptakan liberalisasi yang jauh dari berkeadilan dan berpotensi terus menciptakan jurang kesenjangan yang makin lama semakin dalam. Anak orang miskin jika mau terus sekolah harus berjuang ribuan kali lebih keras dari anak kalangan berada. Dan itu artinya kesempatan tidak sama terbuka bagi semua kalangan....(Munir)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun