PENJABAT KEPALA DAERAH MAJU PILKADA, HARAMKAH ?
Munawar Fuad Noeh
Dosen Universitas Presiden,
IKAL PPSA 23 LEMHANNAS RI
Komitmen dan kebijakan Menteri Dalam Negeri mewakili pemerintah sangat penting dan menentukan kualitas demokrasi sekaligus maju mundurnya Pembangunan di seluruh daerah di Indonesia. Salah satunya diperlukan ketegasan dan konsistensi, agar para Calon Penjabat Kepala Daerah dan yang sedang memegang posisi sebagai Penjabat Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati atau Walikota, sejak awal sudah berkomitmen untuk tidak maju dalam konstestasi Pilkada.
Sebagai penggiat dan pengamat Kebijakan Publik, Munawar Fuad, akademisi President University menyatakan, pertimbangannya.
Pertama, tugas pokok dan fungsi sebagai Penjabat Kepala Daerah tidak akan fokus dan hasilnya pasti tidak maksimal, karena lebih banyak dicampuri oleh kepentingan pribadi dan kelompok pendukungnya. Kecenderungan akan gagal target dan capaian goal utamanya. Yang rugi Masyarakat, dan capaian kemajuan akan penuh konflik kepentingan. Program dan peran jabatan sebagai Penjabat hanya akan dibanjiri dengan pencitraan dan tebar pesona, abai dengan target dan substansi pelayanan tulus kepada rakyat.
Kedua, menimbulkan konflik dan lemahnya koordinasi dan konsolidasi pemerintahan di lingkungan birokrasi yang dengan sendirinya akan terjadi polarisasi dan konflik di internal, berdampak pada potensi pemanfaatan proyek dan keuangan daerah untuk dimanfaatkan atau ditunggangi oleh kepentingan terpusat dari Penjabat Kepala Daerah.
Ketiga, memicu polarisasi dan pembelahan di tengah masyarakat dan kelompok masyarakat, termasuk benturan dengan benturan dengan dan antar partai politik. Penjabat Kepala Daerah mestinya menjadi pemersatu, pelayan dan pengayom bagi semua, malah akan menjadi sumber pemecah belah, disharmoni sosial dan konflik terbuka. Kondisi tersebut sangat berbahaya bagi munculnya disintegrasi sosial dan politik.
Keempat, potensi dan praktek terbuka atau terselubung dalam penyimpangan dan korupsi keuangan negara yang akan dimanfaatkan bagi kepentingan Penjabat Kepala Daerah mengingat mahalnya biaya politik pemilihan langsung. Sumber daya keuangan daerah yang mestinya dimanfaatkan seutuhnya dan tepat sasaran akhirnya akan ditunggangi oleh kepentingan dan ambisi personal Penjabat tersebut.
Kelima, merusak tatanan demokrasi dan system pengkaderan partai maupun kesempatan bagi representasi public melalui Calon Independen. Secara system dan struktur pemerintahan, sebagai Penjabat Kepala Daearh apapun sangat menguasai sumber daya pemerintahan dan keuangan, terutama akses dan ekosistem lingkungannya. Jika ada Penjabat Kepala Daerah berikutya akan jadi preseden buruk, karena kesempatan pengabdian sebagai aparatur sipil negara, hanya dimanfaatkan buat lompatan ambisi dan kekuasaan dengan memanfaatkan jabatan yang pada dasarnya menjadi Tindakan abuse of power.