Mohon tunggu...
Mulyadi Djaya
Mulyadi Djaya Mohon Tunggu... Dosen Univ. Papua -

Memotret Papua bagai oase yang tidak pernah kering. Terus berkarya untuk Indonesia yang berkemajuan (#dosen.unipa.manokwari).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kembalikan Makanan "Ibu" sebagai Solusi Gizi Buruk di Papua

22 Januari 2018   08:52 Diperbarui: 23 Januari 2018   08:11 2654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puluhan anak meninggal di Asmat, Papua. Kompas.com

KASUS gizi buruk yang menyebabkan wabah penyakit campak di Asmat Papua adalah fenomena gunung es yang tidak habis-habisnya kalau tidak ditemukan akar masalahnya. Apa yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga kemanusiaan saat ini melalui Satgas Terpadu Kemanusiaan KLB Campak-Asmat dan kasus-kasus lainnya adalah upaya tindakan mengatasi "sementara" agar tidak berakibat lebih fatal dan kompleks. Namun beberapa tahun ke depan so pasti akan terulang kembali pada tempat yang sama atau berbeda: busung lapar, gizi buruk, dan segala wabah penyakit.

Kita fokus untuk mampu menemukan akar masalah dan strategi mengatasi secara sistematik, integratif, dan berkelanjutan. Kalau ditelusuri ke belakang (sebelum Reformasi dan Otsus Papua) kejadian gizi buruk dan dampak apa pun namanya jarang terjadi di Papua. Tulisan ini sedikit menelusuri akar masalah dan pola mengatasi gizi buruk tersebut.

Pergeseran Pola Makan

Pangan merupakan komoditas pokok dan strategis yang menentukan kualitas sumber daya manusia dan ketahanan bangsa Indonesia kini dan akan datang. Oleh sebab itu, pemerintah melalui Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional berupaya menstabilkan ketersediaan, pendistribusian, dan konsumsi pangan. Salah satu kebijakan adalah melalui penganekaragaman (diversifikasi) konsumsi pangan di daerah -- seperti di Papua yang kaya jenis dan zat gizi.

Namun, bahan makanan konvensional jenis beras dan produk makanan cepat saji sudah sampai ke pelosok kampung di Papua, "mengganggu" produksi makanan lokal terutama di sentra produksi pertanian masyarakat asli.  Gejala terganggunya ketersediaan bahan makanan pokok masyarakat  Papua seperti sayur-mayur, ubi jalar, keladi, singkong, kentang dan sagu di pasar-pasar tradisonal sudah mulai langka dan harga lebih tinggi dibanding beras. Hal ini diduga  bergesernya pola konsumsi masyarakat dari makanan tradisional ke makanan modern yang ikut mempengaruhi kegiatan usaha tani.

Hasil penelitian Mulyadi (2012) di kawasan Pegunungan Arfak Manokwari terdapat dua hal yang diduga menjadi penyebab menurunnya produksi pertanian lokal di Papua yaitu pertama, masuknya program Raskinmu (beras untuk masyarakat miskin dan murah) dengan harga Rp.1.000 per kilogram. Istilah mereka, "tidak perlu kerja keras dan lama  di kebun, beras tinggal dimakan".

Kedua, adalah masyarakat kampung sudah mulai banyak mengkonsumsi mie instan, ikan sarden, dan bumbu masak yang siap saji. Di kios-kios kampung sudah tersedia jenis-jenis makanan migran tersebut.

Dampak lanjutan penyebab di atas adalah keluarga tani sudah jarang pergi ke kebun, dibiarkan babi merusak tanaman dan menjadi terlantar, dari sinilah awal terjadinya  kekurangan makanan bagi masyarakat lokal dan kelaparan seperti terjadi di Kabupaten Yahukimo Papua pada tahun 2005-2006, 2009, dan setahun lalu. Tidak mustahil, secara perlahan di seluruh Tanah Papua akan terjadi krisis pangan dan hilangnya makanan khas Papua sebagai warisan atau jati diri budayanya.

Melihat kondisi di atas maka perlu membuat langkah strategis (road-map) reaktualisasi  dan diversifikasi makanan lokal untuk ketahanan pangan di Papua.

Kembalikan Makanan "Ibu"

Masyarakat Papua kembali menengok manfaat makanan lokal -- dalam hal ini kita sebut makanan "ibu" yang secara turun temurun diajarkan kepada anak dan cucu keragaman jenis, rasa, dan cara membuatnya. Muncul kembali makanan khas Papua seperti keladi tumbuk, ubi dan keladi bakar, barapen, papeda, sate ulat sagu, sayur lilin ditambah daun papaya, sayur gedi, dan aneka masakan ikan seperti ikan bungkus dan ikan kuah kuning dan lain-lain dalam keluarga mengembalikan nilai-nilai budaya makan yang pernah hilang. Keluarga bisa mengatur kembali pola menu, tidak tergantung pada komoditas tertentu atau melakukan penganekaragaman dengan bahan baku non papua disertai teknologi pengolahan yang menghasilkan makanan khas Papua yang tahan lama, sehat, dan rasanya enak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun