Mohon tunggu...
Muliadin Iwan
Muliadin Iwan Mohon Tunggu... -

Mahasiswa SKI/FAH/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Janji Pemerintah RI yang Terlupakan kepada Masyarakat Buton

12 Februari 2015   16:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:21 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

65 tahun sudah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk (17 Agustus 1950) dan 65 tahun pula wilayah kesultanan Buton terintegrasi ke dalam NKRI. Pertemuan Malino, februari 1950 silam antara La Ode Muhammad Falihi (sultan Buton), Sultan Andi Mappanyuki (raja Bone) dan Andi Pangerang Pettarani (gubenur afdeling makassar) dengan presiden Soekarno, menjadi pertemuan yang paling bersejarah dalam masyarakat Buton.

Dalam kesempatan tersebutlah, presiden Soekarno menawarkan kepada sultan Buton, La Ode Muhammad Falihi dengan opsi menjadi daerah istimewah layaknya Aceh ataupun Jogyakarta sekarang. Pembubaran pemerintahan Swapraja Kesultanan Buton (1951) yang disusul wafatnya Sultan Buton, Laode Muhammad Falihi 1960 sekaligus menandai berakhirnya Kesultanan Buton.

Dengan berakhirnya Kesultanan Buton, masyarakat Buton kini menggantungkan nasib dan masa depanya pada pemerintah Indonesia. Integrasinya Buton kedalam wilayah NKRI tentu membawa harapan dan warna baru terkhusus bagi masyarakat Buton maupun masyarakat Indonesia secara umum. Harapan mendapatkan posisi dan otonomi khusus seperti yang ditawarkan presiden Soekarno tentu menjadi harapan pemerintah maupun masyarakat Buton secara umum. Sayangnya, antara harapan dan kenyataan itu tidak pernah sejalan hingga saat ini.

Pada awal terintegrasinya Buton ke dalam wilayah NKRI, Buton menjadi wilayah afdeling propinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulseltra). Kabupaten Sulawesi Selatan beribukota Unjung Pandang (Makassar), sedangkan Kabupaten Sulawesi Tenggara beribu kota di Baubau (Buton).

Namun, setelah mekarnya kabupaten Sulawesi Tenggara menjadi Propinsi pada tahun 1964, Ibu kota propinsi Sulawesi Tenggara justru dipindahkan ke Kendari. Sementara Baubau hanya dijadikan sebagai Ibu Kota Kabupaten Buton. Hal inilah tentunya dianggap tidak tepat oleh masyarakat Buton. Pasalnya, Baubau dianggap layak dan memenuhi kriteria sebagai Ibu Kota Propinsi Sulawesi Tenggara, seperti posisi Baubau yang strategis, yaitu berada jalur lalu lintas pelayaran dan perniagaan Indonesia Timur. Selain itu, Baubau merupakan sebuah kota yang sejak dahulu kala telah menjadi Ibu kota Kesultanan Buton selama ratusan tahun.

Apa salah Buton terhadap NKRI? Itulah salah satu pertanyaan yang kerap kali muncul dalam benak sebagian masyarakat Buton. Suatu pertanyaan yang cukup rasional, mengingat sejak Integrasinya Buton kedalam wilayah NKRI sampai dengan saat ini, masyarakat Buton tidak pernah melakukan sikap memberontak terhadap pemerintah Indonesia. Bahkan setiap kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap cenderung diskriminatif terhadap masyarakat Buton sendiri tidak mengurangi loyalitas masyarakat Buton terhadap NKRI.

Bandingkan dengan Aceh misalnya, yang telah sekian lama melakukan sikap oposisisinya terhadap pemerintah Indonesia melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetap menjadi daerah istimewah. Begitupun Papua dengan Organisasi Papua Merdekanya (OPM) maupun Maluku dengan Republik Maluku Selatanya (RMS).

Kembali melihat Aceh, ketika dijadikan wilayah keresidenan (kabupaten) dalam provinsi sumatera utara, masyarakat Aceh menolak dan meminta otonomi khusus kepada pemerintah RI, hingga akhirnya pemerintah Indonesia menyetujui permintaan tersebut, hingga terbentuklah propinsi Aceh (1956-1959), kemudian menjadi Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam(2001-2009), hingga akhirnya kembali pada Provinsi Aceh(2009-sekarang).

Contoh lain, Jogjakarta sebagai eks entitas kesultanan yang mendapatkan status istimewa atau otonomi khusus dari pemerintah Indonesia hingga saat ini. Begitupun dengan Ternate misalnya, meskipun secara formal tidak menjadi daerah istimewah, namun dengan posisinya sebagai Ibu Kota propinsi Maluku Utara tentu sudah dianggap istimewah oleh masyarakat Ternate sendiri.

Setelah sekian lama berdiam, kini masyarakat Buton kembali buka suara, menyuarakan apa yang seyogyanya patut disuarakan. Suara masyarakat Buton saat ini bukanlah suara kaum oposisi yang menginginkan sebuah negara independen yang bebas dari NKRI ataupun mengemis kepada pemerintah pusat untuk menjadikan Buton sebagai daerah Istimewah layaknya Aceh ataupun Jogjakarta. Tapi, suara yang disuarakan lebih mengacu kepada kemudahan dalam proses terbentuknya propinsi Buton Raya.

Oleh karenah itu, pemerintah Indonesia harusnya peka terhadap kemauan masyarakat Buton. Mengingat Integrasinya Buton kedalam wilayah NKRI dilakukan tanpa syarat dan melalui kesukarelaan sultan Buton, La Ode Muhammad Falihi sendiri. Terbentuknya propinsi Buton Raya tentu merupakan suatu bentuk apresiasi dan penghormatan tertinggi pemerintah Indonesia terhadap Buton, sebagai salah satu eks kesultanan Islam terbesar di Indonesia Timur. Dengan demikian lunaslah hutang (janji) pemerintah Indonesia terhadap masyarakat Buton khususnya Sultan La Ode Muhammad Falihi.

Demikian juga, masyarakat Buton juga harus terus memperjuangkan terbentuknya propinsi Buton Raya yang tentunya merupakan impian seluruh masyarakat Buton sejak lama. Apalagi setelah mekarnya kabupaten Buton Tengah (Buteng) dan Buton Selatan (Busel), pada 24 Juli 2014 lalu tentu makin memperkuat harapan terbentuknya Propinsi Buton Raya.

(Muliadin Iwan)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun