Mohon tunggu...
Mulia Siregar
Mulia Siregar Mohon Tunggu... Penggiat Media dan bekerja sebagai tenaga ahli di DPR RI -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Serpong, Riwayatmu Dulu (Dari Mayat Tak Dikenal, Sarang Ular, hingga Kota Mandiri)

25 Januari 2018   04:13 Diperbarui: 25 Januari 2018   16:24 8337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alat berat digunakan untuk meratakan tanah sebagai bagian dari proyek jalan Tol Cinere-Serpong di Jombang, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (21/5). Proyek sepanjang 10,14 kilometer tersebut masih dalam proses pembebasan lahan di sejumlah titik. KOMPAS/HERU SRI KUMORO

ENAM wartawan senior yang pernah satu kantor dengan saya di Rakyat Merdeka (Jawapos Grup), Minggu (21/1/2018) lalu berkunjung ke rumah saya di Serpong. Dua jam menunggu, mereka belum juga tiba di rumah. Padahal, sebelumnya mereka mengabari telah ke luar tol Jebun Jeruk dan sedang menuju Serpong. Normalnya, waktu tempuh perjalanan dari Kebon Nanas ke rumah paling lama 30 menit.

Tiba di rumah, mereka mengaku nyasar karena tidak hafal jalan. Semua berubah. Hutan karet, rawa-rawa, hutan pinus dan kelapa gading yang dulu tumbuh di kiri kanan, jalan kini sudah tidak ada lagi. Berganti menjadi perumahan yang tertata rapih. Jalan-jalan berlubang, kini mulus dan lebar.

Sekitar tahun 2002, saya sering mengajak wartawan dan beberapa redaktur untuk menikmati suasana malam di perkampungan Serpong yang tenang. Jauh dari suara ingar-bingar kendaraan seperti di Jakarta.

Ditingkahi suara jangkrik, kami bergotong royong membersihkan dan membakar ikan yang kami beli dari petani ikan jaring terapung di danau bekas galian pasir, Desa Cihuni. Ikan bakar dimakan bareng-bareng beralaskan sehelai daun pisang. Bumbu pun seadanya: cabe, tomat, bawang dan kecap manis dicampur menjadi satu. Nikmat.

Kebersamaan ini saya ciptakan untuk mencairkan hubungan saya dengan para wartawan. Maklum, sebagian menyebut saya "galak" saat menjalankan tugas sebagai Redaktur Eksekutif merangkap Koordinator Liputan. Namun banyak juga yang sepenuhnya menyadari bahwa semua itu saya lakukan untuk mendidik mereka agar lebih profesional.

Kepada wartawan, apalagi pemula, ketika itu selalu saya tekankan, jangan ke kantor sebelum dapat berita bagus atau yang ditugaskan. Namun, jika mendapat berita eksklusif, apalagi menjadi headline, sang wartawan akan mendapat bonus uang yang jumlahnya lumayan besar ketika itu. Hal ini tentu memacu mereka, berlomba-lomba mendapatkan berita ekslusif dan "bernilai tinggi". Kinerja para wartawan hebat ini terbukti mampu menaikkan tiras Rakyat Merdeka hingga 500-600 ribu per hari, kala itu. Teman-teman saya di redaksi (Putra Nababan, Arif Gunawan, Kiki Iswara, Ludin Panjaitan, Karim Paputungan, dll) juga merupakan pemikir hebat yang bekerja tanpa lelah hingga mengantarkan Rakyat Merdeka sebagai media yang disegani kawan maupun lawan.

Kembali ke pembangunan Serpong. Meski jauh dari kantor di bilangan Pos Pengumben, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, para wartawan sangat antusias jika diajak bermalam di Serpong. Namun, mereka tidak berani mengendarai sepeda motor sendiri-sendiri, harus konvoi. Sebab, kala itu begal motor sadis lagi marak di Serpong dan sekitarnya. Pelaku tidak segan-segan membacok korban hingga tewas jika menolak menyerahkan sepeda motornya. Bukan hanya pendatang, warga Serpong pun kerap menjadi korban begal para pelaku yang belakangan dikenal sebagai kelompok Lampung.

Menuju Serpong, mereka harus melewati Ciledug-Alam Sutra yang minim penerangan jalan. Mereka ekstra hati-hati karena kerusakan jalan sangat parah dan berbahaya bagi pengendara, terutama saat musim hujan.

Satu lagi yang ditakutkan adalah ular, terutama cobra, ular belang dan ular tanah. Bisanya rata-rata sangat mematikan. Karena itu, sambil membakar ikan, mata kami tetap waspada agar jangan sampai dipatok ular, terutama ular tanah yang warna kulitnya mirip tanah sehingga tidak mudah terlihat.

Ngumpul sambil bakar ikan semakin sering kami lakukan setelah rumah saya yang mungil direnovasi seadanya tahun 2.004. Rumah mungil ini saya beli tahun 2.000 melalui kantor tempat saya bekerja. Biaya renovasi saya dapat dari honor penulisan buku Susilo Bambang Yudhoyono yang berjudul ''SBY Bintang di hati Rakyat''.

Kalau kemalaman pulang ke Jakarta, teman-teman bisa tidur ngampar di rumah. Kini teman-teman wartawan tersebut sebagian beralih profesi. Ada yang jadi dosen, rektor, pengusaha sukses, politisi, manager bank dan aktivis. Sebagian tetap menekuni dunia jurnalistik dengan posisi minimal redaktur dan pimpinan redaksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun