Sebelum pandemi, ibu saya sering membuat banyak ta'jil untuk hidangan berbuka dan untuk itu beliau membeli banyak bumbu, sayur, dan daging di tukang sayur langganan. Pengeluaran makan kami untuk satu Ramadan sampai Rp4 juta.
Ketika hari raya tiba, pengeluaran melonjak karena ibu, dibantu istri, selalu masak banyak lauk untuk hidangan bagi tamu yang berkunjung.
Tahun kemarin tidak ada tamu yang berkunjung karena kampung kami dikunci. Tidak boleh ada orang luar kampung yang datang saat puasa dan Lebaran. Masjid juga melarang orang luar kampung salat di situ.
Pada hari-hari biasa pengeluaran belanja makan paling banyak hanya Rp60rb untuk delapan orang yang tinggal di rumah. Khusus sayuran kami biasa memetik sendiri dari kebun.
Pengeluaran Ramadan yang Rp4 juta itu sebenarnya bisa kami pangkas, hanya saja ibu saya hobi masak. Dia sering mencoba masakan baru meski tahu tidak ada yang makan (karena puasa).
Belajar dari Ramadan tahun lalu, pada Ramadan 1442 Hijriyah ini karena masih pandemi, kami punya kesempatan untuk bersedekah dan menabung lebih banyak lagi.
Ibu saya bujuk untuk tidak lagi membeli banyak ta'jil. Makan untuk berbuka pun saya buat seperti hari-hari biasa dengan alasan harus berhemat karena tidak tahu besok saya masih bekerja atau tidak.Â
Tahun ini saya yakin ibu tambah setuju dengan penghematan demi adik yang sakit kanker.
Sejak Januari lalu adik saya didiagnosis kanker nasofaring yang ternyata sudah stadium 4. Kanker itu membuatnya tidak bisa makan karena mulut dan tenggorokannya luka, efek dari pengobatan radiasi. Dia harus "makan" lewat selang langsung ke lambung.
Dengan kondisi anak bungsunya yang seperti itu, mau tidak mau ibu tidak lagi belanja dan masak banyak makanan.
Saya akan memastikan keluarga jauh (sepupu-sepupu orang tua), meski masih yang tinggal satu kecamatan, tidak berkunjung ke rumah kami, sama seperti tahun lalu. Karena siapa yang tahu sebelum ke tempat kami, mereka sudah kedatangan siapa saja.