Punya pengalaman religius? Bagi saya, pengalaman itu ada saat shalat maghrib berjamaah di rumah.Â
Istimewanya? Pasti adalah. Terutama jika kamu shalat bersama istri dan...sepasang balita. Tak lupa pakai kopiah dan mukena. Takbir pertama serentak angkat tangan dan bersedekap. Seiring Alfatihah, si Adek mulai berseliweran. Hilir mudik. Melalui kedua kaki saya. Menunduk kepala, memaksa lewat sambil ketawa. Jadilah saya renggangkan kaki biar balita-balita itu lewat.
Oh, si Uni tentu tak kan melepaskan kesempatan ini begitu saja. Bocah tiga setengah tahun itu langsung mengejar adiknya. Lewati lorong imajiner ciptaannya di antara kaki saya. Terus begitu, kejar-kejaran cuma istirahat sewaktu sujud.
Ah, ayah yang sedang sujud adalah bukit yang menantang untuk didaki! Mari taklukkan! Demikian mungkin khayalan duet maut ini.
Apakah saya terganggu? Siapapun yang pernah alami seperti saya, akan tahu itu.
Apakah saya marah-marah? Jika begitu, maka aktivitas shalat bukan lagi hal yang menyenangkan bagi anak-anak saya. Bagaimana mungkin nanti saya akan menyuruh mereka melakukan hal yang tidak mereka senangi?
Bagi saya, jika mengajarkan ibadah ke anak, maka kekhusukan dan ketertiban itu nomor sekian. Yang utama menanamkan kesan bahwa ibadah itu asyik, fun, menyenangkan. Kalau bahasa ustad Hary Santosa itu : "Menanamkan imaji positif dulu".
Dengan membiarkan anak-anak menjadikan aktivitas shalat sebagai playgroundnya, saya dan istri mendapatkan buah yang manis sejauh ini. Si Uni yang bersegera mengajak shalat begitu dengar azan, hafal al fatihah, surat an naas serta doa ibu bapak. Lumayan untuk seumurnya. Si Adek? Bocah satu tahun setengah ini tahu tugasnya. Mengambilkan alquran untuk setiap anggota keluarga untuk aktifitas mengaji selepas magrib.
Religiusnya? Jika anak-anak bersenang-senang di waktu shalat, kenapa kita orang dewasa justru terkadang menganggap itu berat? Bukankah kita pernah kanak-kanak?