Mohon tunggu...
Mukhofifatul Inayah
Mukhofifatul Inayah Mohon Tunggu... UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

i'm naya 21 y o i have 2 sister and 2 brother, my favorite sounds is brunomars, and adelle, and my hobby is a dance. I hope can survive di semester ini.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Pekerja Ilegal! Banyak Warga Jawa Tengah Jadi Pekerja Ilegal di Eropa Faktor Ekonomi Jadi Pendorong

24 Juni 2025   19:18 Diperbarui: 24 Juni 2025   19:18 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Arnau dian

Jawa Tengah kembali menjadi sorotan setelah sejumlah laporan informal menunjukkan peningkatan jumlah warganya yang berangkat ke Eropa sebagai pekerja ilegal. Fenomena ini bukan hal baru, namun akhir-akhir ini jumlahnya disebut meningkat secara signifikan. Diduga kuat, tekanan ekonomi, minimnya lapangan pekerjaan, serta janji manis dari agen perekrutan tidak resmi menjadi alasan utama di balik maraknya praktik ini.

Motif utama mereka berangkat adalah faktor ekonomi. Di tengah keterbatasan lapangan kerja, upah minimum rendah, serta sulitnya akses terhadap pekerjaan layak, tawaran bekerja di Eropa menjadi tampak menjanjikan. Banyak dari mereka dijanjikan pekerjaan dengan gaji besar sebagai perawat lansia, pekerja restoran, asisten rumah tangga, atau buruh di ladang dan pabrik. Namun, kenyataannya jauh dari harapan. Tidak sedikit yang akhirnya harus bekerja lebih dari 12 jam sehari tanpa kontrak resmi, bahkan tidak mendapatkan upah yang layak.

Banyak dari para pekerja ilegal ini berasal dari daerah-daerah seperti Brebes, Cilacap, Wonosobo, hingga Pati. Mereka berangkat dengan dalih menjadi turis atau pelajar, namun kemudian tinggal melebihi izin kunjungan dan bekerja secara diam-diam di negara-negara seperti Jerman, Belanda, Prancis, hingga Italia. Pekerjaan yang mereka lakoni pun beragam, mulai dari asisten rumah tangga, pekerja ladang, hingga buruh restoran dan pabrik.

Sebagian besar dari mereka menggunakan visa kunjungan wisata atau visa belajar sebagai pintu masuk. Setelah sampai di negara tujuan seperti Jerman, Belanda, Prancis, atau Belgia, mereka kemudian tinggal melebihi masa izin tinggal dan bekerja secara ilegal. Dalam prosesnya, mereka sangat bergantung pada agen atau calo yang seringkali memungut biaya hingga puluhan juta rupiah. Tak jarang, keluarga di kampung halaman harus menjual tanah atau meminjam uang dengan bunga tinggi demi memberangkatkan anggota keluarga mereka ke Eropa.

Salah satu warga asal Kendal yang berhasil diwawancarai secara anonim mengaku berangkat ke Eropa melalui jalur kunjungan biasa. "Awalnya saya dijanjikan kerja di hotel, tapi sesampainya di sana saya harus kerja sebagai pembersih kebun tanpa kontrak kerja. Gajinya pun jauh dari yang dijanjikan," ungkapnya.

Modus yang paling umum digunakan adalah pemalsuan dokumen atau menggunakan jasa agen tidak resmi yang menjanjikan 'jalan pintas' menuju Eropa. Para calo ini sering kali memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat desa terhadap hukum imigrasi internasional. Tidak jarang, keluarga yang tertinggal di kampung halaman harus menanggung hutang hingga puluhan juta rupiah karena biaya keberangkatan yang tinggi.

Minimnya pengetahuan hukum dan ketidaktahuan tentang aturan imigrasi menjadikan mereka rentan terhadap penipuan dan eksploitasi. Banyak pekerja ilegal ini hidup dalam kondisi serba terbatas, takut keluar rumah, dan tidak bisa mengakses layanan kesehatan atau bantuan hukum karena statusnya yang tidak sah. Mereka juga tidak memiliki perlindungan ketika mengalami pelecehan, kecelakaan kerja, atau pemutusan kerja sepihak.

Pemerintah daerah sebenarnya telah berupaya melakukan pencegahan melalui sosialisasi dan pembinaan tenaga kerja. Namun, minimnya pengawasan dan ketidaktegasan hukum membuat celah ini terus dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ironisnya, para pekerja ilegal ini sering kali enggan melapor atau pulang ke tanah air meski kondisi kerja mereka buruk, karena merasa malu atau takut diproses secara hukum.

Di sisi lain, para pekerja ilegal ini juga menghadapi risiko besar di negara tujuan. Mereka bisa sewaktu-waktu dideportasi, ditahan, atau menjadi korban eksploitasi. Beberapa bahkan tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan dan tidak bisa menuntut hak mereka ketika mengalami pelanggaran.

Pengamat ketenagakerjaan menilai, persoalan ini tidak bisa dipandang sebagai kesalahan individu semata, namun lebih pada kegagalan sistem dalam menyediakan lapangan kerja layak di dalam negeri. "Selama ada ketimpangan ekonomi dan janji manis kehidupan lebih baik di luar negeri, praktik seperti ini akan terus berulang," jelas seorang analis ketenagakerjaan lokal.

Pemerintah pusat diharapkan dapat bersikap lebih tegas dalam menindak agen perekrutan ilegal dan memperkuat kerja sama dengan negara-negara Eropa untuk melakukan perlindungan terhadap WNI. Lebih jauh, solusi jangka panjang harus difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan vokasi, penguatan ekonomi lokal, dan perluasan akses kerja formal agar masyarakat tidak perlu menempuh jalan ilegal untuk mencari nafkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun