Mohon tunggu...
Mukhlisuddin ilyas
Mukhlisuddin ilyas Mohon Tunggu... -

Bekerja di Bandar Publishing, Mengajar dan Meneliti. Tinggal di Banda Aceh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stop Buruh Anak di Aceh

13 Juli 2010   09:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:53 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini, tanggal 12 Juni, ILO sebagai organisasi buruh internasional telah meluncurkan Hari Menentang Pekerja Anak Internasional pada 12 Juni 2002 lalu. Setiap hari dan tanggal 12 juni tersebut akan menjadi momentum tahunan untuk memperingati gerakan dunia menghapus pekerja anak, terutama bentuk-bentuk terburuknya.

Tujuan penetapan hari anti perburuhan anak adalah untuk menarik perhatian masyarakat yang lebih besar terhadap kampanye global ILO mengenai pekerja anak. Momentum ini juga digunakan untuk memperkokoh komitmen pemerintah, mitra sosial ILO, masyarakat umum, LSM, serta lembaga terkait lainnya. Indonesia saat ini memperingati 10 tahun berjalannya program pengentasan pekerja anak. Thailand, Filipina, bersama Indonesia, merupakan tiga negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan program tersebut.

Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ILO No 138 (usia kerja maksimum) pada Juni 1999 dan No 182 (bentuk-bentuk pekerjaan anak terburuk) pada Maret 2000. Kedua konvensi tersebut diadaptasi dalam UU No 20/1999, dan UU No 1/2000. Akumulasi dari semua itu adalah lahirnya UU Perlindungan Anak no 23 tahun 23 tahun 2002 sebagai suatu bagian partisipatif dalam menjalankan konvensi hak anak (KHA).

Buruh Anak

Menurut konvensi-konvensi International Labor Organization (ILO), buruh anak adalah anak-anak yang bekerja yang mengancam kesejahteraannya dan mengganggu pendidikan, tumbuh kembang serta penghidupan masa depannya. Saat anak-anak bekerja dilapangan dalam waktu yang lama, mereka terbatas mendapatkan kesempatan ke sekolah atau pelatihan-pelatihan ketrampilan, mencegah mereka memperoleh pendidikan. Bahwa pendidikan dapat membantu mengangkat mereka keluar dari kemiskinan di masa depan. Khususnya anak perempuan acapkali mengerjakan pekerjaan sebagai kepala rumah tangga bekerja di lapangan.

Semua kita tahu, termasuk saya bahwa baru hari ini kita sadar banyak sekali sektor non formal di Aceh yang memfasilitasi anak bekerja yang akhirnya menjadi buruh dini. Menurut sejumlah lembaga international yang saat ini berada di Aceh yang memfokuskan kerja dibidang child labour (pekerja anak) mengemukan sektor yang dominan anak aceh menjadi buruh adalah sektor pengolohan kayu, pertanian, kelautan, anak jalanan. Dimana sektor-sektor tersebut mengakibatkan anak-anak putus sekolah. Memang saat ini perburuhan anak di Aceh belum menyerupai praktik perbudakan, eksploitasi terhadap anak sepanjang hari, sehingga praktis merenggut anak dari segala hak-hak asasinya sesuai dengan Konvensi Hak Anak maupun segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Namun solusi-solusi kontruktif perle segera diambil untuk menghindari bentuk buruk bagi anak aceh kedepan.

Dukungan Budaya

Dalam budaya Aceh, perburuhan anak tidak dikenal, yang dikenal adalah proses pembelajaran terhadap aktivitas yang “ramah anak”. Misalnya pembelajaran mencuci piring dll. Dalam sebuah penelitian yang saya lakukan mengenai Praktik Perlindungan Anak dalam Perspektif Budaya Aceh, 2007, melalui the aceh institute). Mengemukakan bahwa anak tidak boleh diperkerjakan dengan tujuan mendapatkan uang yang digunakan oleh orang tuanya untuk keperluan keluarga.

Namun demikian ada saat tertentu anak boleh bekerja, melakukan sesuatu dan mendapatkan bayaran dari hasil pekerjaannya. Akan tetapi bekerjanya anak bukan untuk mencari uang semata atau mendapatkan keuntungan material sebagaimana orang tuanya, namun lebih pada kepentingan edukasi dan tidak berbahanya fisik dan nyawanya. Setidaknya ada beberapa “pra syarat” seorang anak dapat bekerja dalam budaya Aceh.

Pertama Bekerja untuk belajar. Dalam budaya Aceh anak boleh dipekerjakan atau bahkan disuruh melakukan kerja, selama tidak dimaksudkan sebagai tulang punggung keluarga dalam memperoleh penghasilan. Pekerjaan yang diberikan kepada anak adalah perkerjaan yang memang mungkin dilakukannya, seperti rabee kebeu, paroh tuloo, koh empeun leumo, (mengembala kerbau, mengusir burung di sawah, mencari pakan lembu) dan berbagai pekerjaan yang lain yang mungkin dilakukan oleh seorang anak. Pekerjaan tersebut dimaksudkan untuk mendidik anak agar ia terbiasa dengan pekerjaan sehingga kelak ia lebih mampu melakukan berbagai pekerjaan yang mungkin lebih berat dari apa yang dihadapinya kini. Terkadang ada anak yang bekerja dan mendapatkan keuntungan material dari pekerjaannya, seperti menjual makanan di sekolah, mengupas pinang, mencari lokan, mencari kelapa, mangga dan lainnya untuk dijual. Dari hasil ini ia mendapatkan material uang. Pekerjaan demikian biasanya didukung oleh orang tuanya sebab itu ia memperoleh/mengumpulkan uang untuk dirinya sendiri. Uang tersebut akan ditabung oleh orang tuanya yang kadang-kadang digunakan untuk membelikan pakaian baru di hari raya.

KeduaAgar lebih dekat dengan orang tua. Mempekerjakan anak juga dimaksudkan agar anak mengetahui bagaimana pekerjaan orang tuanya, terutama yang bekerja sebagai petani, pedagang dan nelayan. Seorang orang tua sering mengajak anaknya untuk ikut bersamanya dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari yang ia tekuni, seperti ke sawah, ke gunung atau ke kebun. Bahkan tidak jarang seorang anak guru/pegawai juga dibawa ke kantor tempat bapak/ibunya bekerja. Meskipun sesampai di tempat kerja si anak hanya menunggu di jamboo (untuk anak yang masih kecil) namun itu adalah wujud membangun keakraban antara anak dengan orang tuanya, sehingga diharapkan si anak dapat mengetahui pekerjaan orang tuanya.

Ketiga Membantu orang tua. Adakalanya anak bekerja untuk membantu orang tua dalam beberapa hal yang mungkin dilaksanakan oleh anak. Hal ini di satu sisi sebagai wujud pengabdian sang anak kepada orang tuanya, di sisi lain untuk meringankan kerja orang tua pada hal-hal yang mungkin dibantunya. Orang tua juga berhak menyuruh anaknya untuk membantunya sejauh pekerjaan tersebut benar-benar mungkin dilakukan oleh anak. Dalam falsafah Aceh dikenal ungkapan pereule aweuk bek tutoeng jaroe, pereule aneuk bek payah droue (guna sendok agar tangan tidak terbakar, guna anak agar pekerjaan jadi mudah). Jadi dalam budaya aceh, pekerja anak (Child labour) juga sudah lebih awal dikenal, dalam kontek pembelejaran bukan perbudakan (mukhlisuddin Ilyas dkk, 2007:36-37)

Solusi Praktis

Dampak dari menjadi buruh anak salah satunya adalah tidak memiliki waktu untuk sekolah. Untuk itu, diperlukan sinergisitas pemikiran dan gagasan mulai dari tingkat gampong, kecamatan, kabupaten hingga provinsi untuk menggalakkan sekolah paket atau dikenal dengan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat).

Untuk mengurangi anak-anak yang telah menjadi buruh di Aceh diperlukan kesadaran masyarakat dan pemerintah. Bagi pemerintah diperlukan perencanaan yang matang melalui bagian Pendidikan Luar Sekolah (PLS) dalam struktur dinas Pendidikan NAD, begitu juga bagi masyarakat untuk lebih sadar bahwa solusi menghindari anaknya menjadi buruh adalah melalui pendidikan.

Akhirnya kita berharap Pemerintahan Aceh harus mengambil kebijakan yang strategis dalam mengembangkan sumber daya anak-anak Aceh kedepan, melalui penghentian buruh anak di Aceh dalam semua sektor pekerjaan yang berdampak buruh bagi anak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun