Di tengah kehijauan hutan pinus yang sejuk, angin lembut membelai pepohonan, dan batu-batu besar terhampar luas. Di sinilah Taman Batu Gunung Karang, juga dikenal sebagai Seribu Goa, menjulang megah di Lingkungan Pancurendang Tonggoh, Kelurahan Babakan Jawa, Kecamatan Majalengka.
Taman Batu Gunung Karang telah menyambut pengunjung sejak tahun 2017 lalu, mengundang mereka untuk menjelajahi lanskap batuan dan pepohonan yang memukau. Namun, seperti banyak tempat lainnya, pandemi COVID-19 telah menghentikan sejenak keramaian di sini, dan kawasan ini pun perlahan kehilangan pamornya.
Namun, jauh di balik keindahan batu-batu yang tersebar begitu memesona, Taman Batu Gunung Karang menyimpan rahasia yang melambungkan imajinasi. Menurut cerita yang tercatat dalam halaman Perhutani, tempat ini memiliki hubungan yang dalam dengan Legenda Sangkuriang, sebuah cerita rakyat yang merajut kisah-kisah lama suku Sunda.
Sangkuriang, dengan segala niatnya, berusaha untuk mempersunting Dayang Sumbi, yang tak lain adalah ibunya sendiri. Namun, sebuah tantangan diberikan: ia harus membangun sebuah bendungan dalam semalam. Sangkuriang, dengan segala tekadnya, memohon pertolongan dari makhluk halus untuk menyelesaikan tugasnya. Tapi Dayang Sumbi, yang jeli, berhasil mengelabui makhluk halus itu dengan memukul lesung padi yang menyebabkan para mahluk halus kabur, karena mengira pagi sudah menjelang, sehingga terjadilah keterlambatan yang berujung pada penyelesaian yang tak sempurna. "Batu-batu yang mau digunakan untuk membendung sungai itu akhirnya ditinggalkan makhluk halus, dan masih berserakan di sini" kata Pak Dalang, seorang warga yang mengetahui cerita ini.
Dari puncak Gunung Karang, mata memandang lembah yang hijau menghampar dan sungai Cilutung yang berbelok-belok di Kecamatan Jatinunggal Sumedang. Di selatan, hutan pinus menari dengan angin, sementara kota Majalengka berbinar di utara. Di barat, kadipaten berdiri megah, sementara hutan pinus lainnya menyapa dari timur.
Sebagai seorang warga setempat, Pak Dalang mengungkapkan suara hatinya dengan tulus, "Bila ingin ada peningkatan potensi wisata, pihak pemerintah (baca: Perhutani) harus merevitalisasi wilayah ini. Sebab masyarakat juga memerlukan pemasukan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Untuk itu lebih baik kami lebih bertani daripada lama-lama menunggu di sini, hahaha..."
 Tak dapat dipungkiri, Taman Batu Gunung Karang saat ini memang memerlukan sentuhan penyegaran. Jika pengelola melakukan perbaikan dan pemeliharaan yang cermat, mungkin suatu hari nanti keramaian akan kembali menyelimuti tempat ini, seperti keadaan sebelum pandemi. Di tengah ketenangan, kesejukan, dan pemandangan alam yang menawan, tempat ini juga menyimpan benang merah budaya dengan kisah-kisah masyarakat Sunda yang membekas, dalam setiap batu dan angin yang berhembus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H