Tatkala saya lulus di salah satu Universitas Islam Negeri dengan jurusan Studi Agama-Agama, saya mendapat dua reaksi berbeda dari orang-orang terdekat saya.
Pertama, mereka yang ikut bahagia atas kelulusan saya untuk bisa melanjutkan studi di jenjang perkuliahan. Kedua, sikap yang terkesan 'takut' dari lirikan mata mereka, barangkali karena jurusan yang saya tempuh cukup mainstream: berbau agama. Bukan sekedar agama, tapi agama-agama!
Bayangkan! Candaan yang saya terima berbunyi seperti ini "wah hati-hati jadi 'kafir', ya!" atau "Nanti ada rencana bikin agama baru, nggak?". Ternyata tak hanya saya saja yang mendapat perlakuan semacam itu, beberapa teman saya pun menceritakan pengalaman yang sama.
Meskipun saya anggap itu angin lalu, tapi terbesit dalam benak saya pertanyaan mendasar "Apakah permasalahan agama se-sensitif itu?" Mungkin, saking sensitifnya orang-orang malas dan tak acuh pada urusan satu ini. Ya, karena itulah tak heran banyak sekali problematika dalam urusan beragama di Indonesia. Asusmi saya karena orang-orang takut untuk belajar menerima perbedaan; semakin lebarlah religious illiteracy ini.
Agama padahal tak bisa dipungkiri adalah sesuatu yang dekat dengan bangsa Indonesia. Ia sudah tertuang dalam nilai sila pertamasecara otomatis ia ada dalam nadi kita, menjadi indentitas, disukai atau tidak.
Tapi, sebetulnya bener gak sih belajar agama-agama hanya mempelajari aspek Ibadah atau Tuhan semata? Atau mempelajari bagaimana cara bikin agama baru? [hahaha... bercanda kali!]
Apa itu Studi Agama-Agama?
Jurusan Studi Agama awalnya bernama Perbandingan Agama. Namun karena satu-dua faktor beralih frasa menjadi Studi Agama-Agama. Studi agama sendiri secara umum sebetulnya mempelajari sejarah agama (asal-usul, ciri-ciri, struktur agama-agama) dan agama sebagai fonomena dengan maksud mencari persamaan, perbadaan, hubungan agama satu dengan lainnya sehingga bisa diungkap hakikat pentingnya agama bagi pemeluk masing-masing.
Max Muller, bapak perbandingan agama, pernah berkata "Dia yang hanya mengetahui satu agama, sebenarnya dia tidak mengetahui apa-apa."
Banyak hal menarik yang saya temukan di sana. Nah, ketika saya menempuh semester awal, saya dibuat takjub mempelajari mata kuliah tasawuf yang membahas pandangan spiritual dalam kehidupan manusia. Dalam tasawuf, kita diajarkan untuk memandang perbadaan dengan cara yang multiwarna, tidak sebatas hitam-putih saja.
Ibnu Arabi misalnya mengatakan bahwa jalan menempuh Tuhan itu banyak cara, tidak dengan satu pintu saja. Dan setiap orang berhak untuk menginterpretasikan jalan ketuhannya masing-masing. Itu pemikiran beliau, dan memang di kalangan akademisi agama pun masih mengadung kontroversi.Â