Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

New Normal: Adaptasi Mitologi pada Era Digital

26 September 2020   11:10 Diperbarui: 26 September 2020   22:05 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Ilustrasi pribadi


Hari ini, kita berada di era digital
, dan sudah kita ketahui bersama, dunia sedang dilanda oleh pandemi corona semenjak 9 bulan lalu, ada negara yang berhasil bebas darinya, ada pula yang menyerah padannya. Lalu bagaimana dengan negara kita tercinta? Yang sampai saat ini, angka penambahan jumlah yang terinfeksi terus naik menjadi juara? Dan apakah kebijakan New Normal berbau medis? Atau hanya sekedar embel-embel politis untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah kita menanggulangi wabah? Saya akan ulas perlahan perihal New Normal dengan menyenangkan. 

Mitologi adalah suatu kajian tentang mitos-mitos di masa lampau, pasti pembaca akan bertannya-tanya mengapa saya mengaitkannya dengan New Normal. Inilah yang saya sebut sebagai tulisan menyenangkan, karena tulisan ini di isi oleh imajinasi-imajinasi saya pribadi dan perlu diketahui, sejak dulu hingga kini, imajinasi digunakan oleh ummat manusia sebagai solusi sebelum datangnnya pengetahuan yang pasti. 

Sekarang saya ingin masuk kedalam imajinasi orang-orang parlemen, mencoba masuk kedalam otak Pak Jokowi ketika memutuskan dan mengesahkan kebijakan New Normal ini. Dan pada kala itu, indonesia sedang mengalami dekadensi ekonomi diakibatkan oleh pandemi, mungkin Pak Jokowi juga khawatir, apabila Lockdown dan Karantina efektifitasnya hanya itu-itu saja, ditambah ia tak bersahabat dengan problematika politis-ekonomis negara, maka Pak Jokowi-pun mengeluarkan kebijakan New Normal, yang mana fleksibelitas darinya dapat diandalkan untuk kembali merekonstruksi dekadensi yang sudah terjadi dikarenakan pandemi ini. 

Benar memang, kebijakan ini tak ada salahnya secara ekonomis dan politis, tapi bila dinalar secara etis, maka tentunya para relawan dan tenaga medis menangis, karena merasa usaha mereka di sia-sia kan oleh kebijakan. Tapi tak masalah, memang seperti itulah pemerintah, ada yang diuntungkan dan yang dirugikan, karena dalam suatu sistem demokrasi, kebijakan pemerintah yang universal dan sangat kompleks susah dicapai, karena dihalangi oleh kepedulian partikular wargannya. 

Kembali kepada persoalan New Normal, setelah kebijakan ini diluncurkan, ekonomi mulai tumbuh kembali setelah lumpuh beberapa waktu, negara dapat menetralisir hutang dengan sedemikian rupa, sehingga pemerintah agak-agaknya dapat bernafas lega setelah kebijakan ini terjadi. Lalu, sampai sini apa masalahnya? Bukankah aman-aman saja yah? Bukankah kebijakan ini sangat baik? Kita bahas di paragraf selanjutnya. 

New Normal sebagai mitologi masa kini, mengapa demikian? Bukankah sudah kita lihat bersama, semenjak kebijakan New Normal yang katanya dapat mengatasi problematika yang ditimbulkan oleh wabah ini, semenjak kebijakan itu keluar dari imajinasi orang-orang konstitusi, bukankah jumlah penambahan kasus positif covid-19 yang awalnya bertambah <1000 per-hari, menjadi >2500 per-hari, bahkan pernah sampai 4000 waktu itu, bukan-kah New Normal sebagai representasi penanggulangan pandemi hanya masuk kedalam kajian mitologi? Bahkan sudah gagal di uji secara epistemologi.

Mungkin di era digital serba intelektual dan saintis ini, New Normal bila dimasukkan kedalam kajian saintis dan di demakrasi-kan, ia akan menjadi suatu kajian pseudis dalam konsep medis, yang berhasil menyebarkan kebohongan universal-partikular kepada warga negara yang menerapkannya. Lalu apakah ini bahaya? Atau justru tak masalah? Kita akan kupas secara akademis di paragraf berikutnya. 

Sudah saya simpulkan secara epistemik bahwa new normal hanyalah mitos secara medis, dimana ia hadir untuk menambal ketidakmampuan pemerintah kita menanggulangi wabah. Lalu apa sih kegunaan mitos itu? Edith Hamilton, menulis buku berjudul Mitologi Yunani, dimana ia mengatakan dalam buku it, bahwa mitologi/mitos dapat dijadikan sebuah rangsangan untuk mendorong kemajuan ummat manusia dalam berjalan di jalanan peradaban. Mengapa demikian? Sudah saya jelaskan bahwa imajinasi-lah yang membawa manusia hingga sedemikian maju sampai saat ini. 

 Lalu apakah New Normal membawa kemajuan bangsa? Iya tentunya, apabila ia diuji, bukan malah dipuji dan diyakini.

Pandemi ini sebenarnya juga ujian manusia dalam memajukan imajinasi dan filosofi-nya, sudah dilihat mana kaum yang berhasil menanggulangi, mana yang menggunakan mitologi, juga perlu diingat, menciptakan mitos sebagai kebijakan, bukan memajukan pikiran, melainkan memperbanyak kedunguan, karena mitos yang memajukan adalah mitos sebagai kajian, bukan mitos yang ditaruh pada suatu kenyataan. 

Semoga kita tetap berpengetahuan di tengah kebijakan yang kadang-kadang menimbulkan kedunguan, karena di era digital dan serba intelektual ini, manusia (terutama millenial)  harus menganalisis mana yang memajukan dan yang memundurkan. 

Terimakasih telah membaca dan memasuki imajinasi saya, bila bermanfaat bagikan, jangan lupa  kritik dan saran. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun