Mohon tunggu...
Muhammad L Aldila
Muhammad L Aldila Mohon Tunggu... Pengacara - Meester in de Rechten

merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Tukang komentar isu-isu hukum, politik dan kebijakan publik. Tulisan saya lainnya bisa akses ke https://muhmdaldi.weebly.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menggugat Indonesia

31 Desember 2015   20:16 Diperbarui: 31 Desember 2015   20:16 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

*Oleh : Muhammad L Aldi

Baru saja kemarin, bangsa ini larut dalam hingar bingar pilpres dua kubu yang memecah persatuan masyarakat secara sistematis. Baru saja kemarin juga rasanya bangsa ini menitipkan harapan bagi presiden terpilih agar bekerja dengan sungguh-sungguh selama 5 tahun kedepan di perayaan tahun baru 2015. meskipun begitu, satu pembahasan yang selalu muncul dalam setiap perayaan tahun baru ialah mengulang-ulang kembali bahwasanya sejauh ini indonesia belum merasakan 'pembaruan'.

 Pada akhir tahun 2014 lalu, detak nadi pembaruan sebenarnya mulai menampakkan dirinya pasca suksesi kepemimpinan terjadi. Proses yang diidamkan banyak orang oleh karena presiden sebelumnya dinilai terlalu banyak bermain aman melalui kebijakan polittik “thousand friend, zero enemy” akhirnya terlaksana. Tapi sekali lagi, isu-isu 'stagnansi non pembaruan' masih merupakan isu pinggiran yang patut untuk diangkat dalam pergantian tahun ini. Sekalipun hanya sempat terbesit pada momen-momen tertentu melalui media sosial, isu bawah tanah ini rupanya tampil untuk kemudian menohok kenyataan yang kontras dengan cita-cita konstitusi.

Dengan sangat jelas, isu stagnansi non pembaruan memang muncul sebagai sebuah realitas historis , bahwa sejak negara ini dikuasai oleh orde baru korupsi kolusi nepotisme, privatisasi, kapitalisme, neo-liberalisme, serta keadaan dehumanisasi berhasil dikukuhkan hingga liang lahat otak masyarakat kita. Seolah-olah setiap kesempatan merupakan keadaan yang memaksa (overmacht) sehingga sah-sah saja pelanggaran maupun kejahatan hukum terjadi. Realitas inilah yang hingga kini masih diwarisi sebagian besar dari kita yang pada akhirnya berhasil membuat momentum pembaruan indonesia terasa hilang.

Dahulu, ketika kemerdekaan dikumandangkan, terkristal kesadaran bahwa secara geografis indonesia merupakan bentangan jamrud khatulistiwa. Tak sedikit dari para pendiri bangsa menyebut indonesia sebagai sepotong surga yang diletakkan Tuhan di muka bumi. Ada semacam kesadaran kolektif yang ikut mendasari munculnya aspirasi pada paruh pertama abad ke 20, bahwa sesungguhnya indonesia merupakan negeri dengan kekayaan Sumber Daya Alam yang unlimited.Obyektifikasi terhadap seluruh keadaan tersebut pada akhirnya membuahkan kesimpulan yang masih diamini oleh sebagian dari kita bahwa indonesia bak negeri dari alam kahyangan.

Namun kini saya justru cemas jika saja saya masih mengamini pemikiran kolektif mengenai negeri potongan surga ini. Kecemasan saya mungkin persis dengan kecemasan yang dialami Miss Kolombia, Ariadna Guiterrez yang menjadi Miss Universe selama beberapa menit sebelum mahkotanya direbut Miss Filipina, Pia Alonzo sebagaimana insiden salah sebut pemenang oleh Steve Harvey terjadi. Atau kecemasan saya mungkin persis ketika Valentino Rossi dianggap menjatuhkan Marc Marquez di lag ketujuh MotoGP Malaysia oktober lalu. Kecemasan saya ini kurang lebih mungkin juga persis dengan perkataan yang sering dilontarkan oleh Sutan Bhatoegana : ngeri-ngeri sedap.

Bukan tanpa alasan saya berkata demikian, jika memang pemikiran kolektif mengenai negeri potongan surga itu benar adanya. Maka seminimal mungkin, tiga tujuan pokok negara hukum yaitu menciptakan (a) keadilan (justice); (b) kepastian (certainty); dan (c) kebergunaan (utility) mutlak terkristalisasi dengan baik di memori bangsa ini. Namun faktanya Legal System berupastructure of law; substance of law; dan culture of law justru berjalan-jalan sendiri tanpa arah seperti yang masih terjadi belakangan ini.

Sebut saja seperti problem tak berkesudahan friksi antara cicak vs buaya, kusutnya birokrasi perizinan, koordinasi antar lini yang masih macet, desentralisasi yang kebablasan, licinnya pelaku kebakaran lahan gambut, berhentinya eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkoba, dan beberapa peristiwa hukum lainnya. Pun juga kita tidak bisa menutup mata akan adanya peristiwa politik pada tahun 2015 ini misalnya dari eksekutif berupa perombakan kabinet kerja jilid 1, manuver ngepret Rizal Ramli di kasus Pelindo II dan manuver Sudirman Said di kasus papa minta saham. Indonesia tahun 2015 ini juga dikejutkan dengan peristiwa politik lain seperti lahirnya Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan Partai Islam Damai Aman (Idaman). Meskipun demikian, tahun ini sepertinya masih merupakan tahun politik milik DPR. Hal tersebut nampak dari pecahnya dua kubu KIH dan KMP dalam parlemen, kontroversi dua sejoli Setya Novanto dan Fadli Zon dalam kehadirannya saat kampanye Donald Trump, hingga kasus papa minta saham yang berujung pada pengunduran diri aktor papa minta saham sebagai ketua DPR.

Kecemasan saya melalui perkembangan Isu-isu stagnansi non pembaruan memang beralasan. Setidaknya itu tercermin pada media non-arus utama yang menggambarkan isu tersebut dengan riuh. Padanan teks dan gambar membuat isu ini tampil dalam aneka versi. Kebijakan pemprov DKI melarang demonstrasi di lokasi strategis misalnya, ia muncul sebagai penyampai pesan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dibereskan di negeri ini dimana salah satu PR yang harus diselesaikan adalah masalah penjaminan hak bersuara di muka umum. Padahal disisi lain, aksi kamisan, menuntut penegakan hukum atas pelanggaran dan kejahatan HAM yang dilakukan negara kepada warga sipil seperti Semanggi I & II, Penghilangan paksa aktivis 1997/1998 hingga kasus munir yang terbunuh di udara menjadi bukti betapa rakyat masih menuntut adanya penegakan hukum yang holistik. Namun, melihat sikap pemprov DKI melalui kebijakan pelarangan menyampaikan pendapat di tempat strategis ini justru semakin menguatkan argumen bahwa negara masih abai akan persoalan-persoalan superserius yang demikian terjadi. Sungguh miris.

Di indonesia, selain daripada kendala kesadaran negara yang minim akan penegakan hukum terkait HAM, kendala pembangunan infrastruktur juga masih menjadi problem klasik. Korupsi pun juga masih menjadi batu sandungan lainnya. Belum lagi potensi gesekan yang timbul karena kita hidup di dalam kemajemukan. Misalnya wabah debat boleh tidaknya mengucapkan natal, dsb. Plus, di tengah pengaruh ekonomi global dan regional, urusan menggerakan perekonomian melalui paket kebijakan jilid sekian juga masih memerlukan kerja keras dan kerja cerdas.

Persoalan Besar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun