Mohon tunggu...
M In am  Esha
M In am Esha Mohon Tunggu... -

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pemimpin Profetik

19 Juli 2018   08:10 Diperbarui: 19 Juli 2018   08:31 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diambil dari osistakmiriyah.blogspot.com

Dinoyo, 19 Juli 2018. Pada suatu kesempatan, ketika menjamu direktur sebuah perusahaan kontraktor pemenang tender pembangunan fisik, sengaja diberikan makan tidak seperti yang biasa. Seperti diketahui, mungkin sudah menjadi kebiasaan, apalagi sekelas direktur, mereka biasa dijamu dengan makan-makanan yang wah.

Kita sebenarnya bisa mereka dijamu dengan standar yang biasa mereka lakukan, tetapi dalam hal ini sengaja tidak dilakukan. Pada waktu itu mereka dijamu dengan makanan yang mungkin menurut ukuran sangatlah sederhana. Memang makanan yang disajikan adalah makanan masyarakat pada umumnya. Mungkin yang biasa di makan oleh para pekerja kasar di perusahaan mereka. Mereka disuguhkan nasi  bungkus dengan lauk seadanya.

Sengaja dilakukan itu agar mereka mengetahui bagaimana kondisi para karyawan kecil yang bekerja untuk proyek mereka yang bernilai milyaran rupiah. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa dalam bekerja sesungguhnya kemuliaan itu bukan saja diukur pada kualitas bangunan yang dihasilkan. Tetapi, bagaimana proses menghasilkannya tentu harus dengan cara-cara yang manusiawi. Seorang pimpinan harus peka dengan kondisi riil di lapangan terkait dengan para karyawannya.

***

Itulah sepenggal kisah kecil yang bisa saya tangkap dan saya pahami dari apa yang disampaikan oleh seorang pimpinan puncak sebuah perguruan tinggi dalam kaitannya dengan bagaimana kita seharusnya berpikir dan berbuat sebagai seorang pimpinan. Pemimpin yang biasa dipersepsikan hidup dalam kondisi yang "enak" harus senantiasa memiliki kepekaan dengan apa yang ada di sekitarnya. Harus peka dengan apa yang terjadi di kalangan bawahan kita.

Tidak jarang, hidup kita ini sarat dengan perilaku-perilaku yang sebenarnya kurang humanis. Kita seringkali  terperdaya oleh pola pikir tidak manusiawi dalam menjalankan tugas sehari-hari seperti pola pikir yang terlalu kapitalistik (over capitalistic) . Dalam alam pikir kapitalisme, sebagaimana yang kita ketahui dari arti katanya yang berarti modal, mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari modal yang kita keluarkan menjadi hal yang utama.

Sebenarnya hal ini sesuatu yang manusiawi, tetapi yang menjadi masalah adalah bahwa akibat keinginan yang besar untuk mendapatkan keuntungan maksimal itu tidak jarang alam pikiran kapitalisme mengarahkan kegiatan seseorang pada hal-hal yang menjauhkannya dari nilai-nilai kemanusiaan. Tidak jarang hal tersebut diper-"Tuhan"-kan dan akhirnya abai pada aspek-aspek humanisme. Alam pikir inilah yang kemudian menjadi salah satu sasaran kritik bagi  kalangan sosialis terhadap kapitalisme.

Dalam konteks kepemimpinan, jika kita hanya mengutamakan hasil yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya dan abai terhadap kesejahteraan bawahan/karyawan, sebenarnya kita telah terbenam dalam alam pikir kapitalistik itu. Memang, dalam kehidupan ini kita sering dihadapkan pada kenyataan di mana seorang pimpinan hanya berorientasi pada hasil terbaik, tetapi seringkali abai atas kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya. 

Mereka, para bawahan kita, ibaratnya diminta untuk bekerja selama 24 jam per hari, namun dengan imbalan yang sesungguhnya jauh dari ukuran-ukuran manusiawi.  Seorang pimpinan sejati semestinya berpikir tentang bagaimana kondisi seorang bawahan itu telah mengorbankan banyak hal seperti urusan rumah tangganya, perjumpaan dengan anak-anaknya, pengembangan karir intelektualnya jika ia seorang dosen, dsb. 

Bukankah itu bagian dari jihad fi sabilillah? Demikian biasanya  seorang pimpinan itu berargumen. Memang, alasan keagamaan atau teologis seringkali dijadikan alibi untuk mengabsahkan sebuah tindakan. Hal inilah yang kemudian menjadi sasaran kritik. Karl Marx, misalnya, mengatakan bahwa agama adalah candu, opium dan sejenisnya. Agama di satu sisi memang membawa kebaikan, tetapi kebaikan doktrin-doktrin itu seringkali dijadikan instrument kekuasaan untuk menghegemoni sesuai dengan kepentingan tertentu. Pada titik ini, barangkali, apa yang dilontarkan Marx benar, walaupun tidak seluruhnya.

Jihad fi sabilillah, bersungguh-sungguh dalam berbuat baik di jalan Allah atau dalam bahasa kekinian profesional dalam pekerjaan, tidak mengharuskan kita untuk kemudian abai atas nasib baik dan orang-orang yang menjadi tanggung jawab kita. Terlebih, kalau kita tilik dalam sejarah perkembangan Islam di mana orang-orang yang ikut berperang dalam menegakkan Islam, mendapat bagian ghanimah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun